Ada beberapa hal yang membuat saya tergerak untuk mencari tahu tentang sejarah bagaimana masuknya Islam di pulau Tomia, Buton, Sulawesi Tenggara. Selain karena ibu saya adalah orang asli dari pulau tersebut, juga karena keingin tahuan saya tentang kakek saya, yaitu La Ode Sulaiman bin La Ode Hade.
Berawal dari sekitar 16 tahun yang lalu (saya masih kelas 4 SD), Haji Ilyas datang dari Tomia ke Surabaya, ketika tinggal di rumah ia sering bercerita tentang sejarah kesultanan Buton, Tomia dan sosok Kakek saya La Ode Sulaiman. Saya yang masih ingusan itu begitu antusias mendengarkan, apalagi ketika bercerita tentang beberapa karomah yang dimiliki kakek saya ini.
Ketika saya duduk di bangku Tsanawiyah, saya berkesempatan untuk pulang ke Tomia selama 3 minggu, perjalanan di mulai dari Surabaya-Kendari-BauBau lalu Tomia. Di setiap kota ini banyak orang yang bercerita mengenai kakek saya, terutama di Tomia.
Keingintahuan terhadp La Ode Sulaiman semakin kuat ketika beberapa bulan yang lalu saya mampir ke Pulau Lembe, sebuah pulau kecil di Bitung, Sulawesi Utara. Di pulau ini mayoritas penduduknya adalah orang-orang Tomia, bahkan ‘bahasa nasional’nya adalah bahasa Tomia. Dan para sesepuh di pulau Lembe ini banyak yang mengaku menjadi murid dari kakek saya.
Dengan alasan-alasan itulah saya pun tergerak untuk mengetahui sosok kakek, yang ternyata mempunyai garis lurus dengan sejarah masuknya agama Islam di pulau Tomia, sebuah pulau di Wakatobi, tempat yang kini mulai terkenal karena Taman Lautnya yang lebih indah dari Bunaken.
Gelombang awal: Dari Aceh hingga Tomia
Pembawa islam pada gelombang ini adalah Encik Sulaiman, seorang ulama’ sekaligus pedagang dari Aceh.
Ketika beliau pulang dari Banda (bagian dari kesultanan Ternate) seusai berdagang, perahu (kora-kora) yang beliau gunakan untuk barang-barang perdagangannya tenggelam sekitar 12 mil dari pulau Tomia. Kemudian barang-barang itu ditumpuk di sebuah tempat bernama ‘sokkoa’ (yang dalam bahasa Tomia berarti: penuh sesak dengan barang) yang terletak di pulau Lentea, sebuah pulau kecil yang ada di dekat Tomia. Kemudian semua barang-barang itu diangkat di Usuku, sebuah desa di Tomia.
Di saat itu, ternyata puteri Sangia Komba-Komba (penguasa Tomia) yang bernama Waja Walio sedang sakit dan tidak ada seorang tabib pun yang berhasil menyembuhkannya. Maka Encik Sulaiman pun mengobatinya dengan cara membacakan dan meniupkan shalawat ke dalam air untuk diminum si sakit, dan Alhamdulillah sang putri pun sembuh.
Berawal dari sekitar 16 tahun yang lalu (saya masih kelas 4 SD), Haji Ilyas datang dari Tomia ke Surabaya, ketika tinggal di rumah ia sering bercerita tentang sejarah kesultanan Buton, Tomia dan sosok Kakek saya La Ode Sulaiman. Saya yang masih ingusan itu begitu antusias mendengarkan, apalagi ketika bercerita tentang beberapa karomah yang dimiliki kakek saya ini.
Ketika saya duduk di bangku Tsanawiyah, saya berkesempatan untuk pulang ke Tomia selama 3 minggu, perjalanan di mulai dari Surabaya-Kendari-BauBau lalu Tomia. Di setiap kota ini banyak orang yang bercerita mengenai kakek saya, terutama di Tomia.
Keingintahuan terhadp La Ode Sulaiman semakin kuat ketika beberapa bulan yang lalu saya mampir ke Pulau Lembe, sebuah pulau kecil di Bitung, Sulawesi Utara. Di pulau ini mayoritas penduduknya adalah orang-orang Tomia, bahkan ‘bahasa nasional’nya adalah bahasa Tomia. Dan para sesepuh di pulau Lembe ini banyak yang mengaku menjadi murid dari kakek saya.
Dengan alasan-alasan itulah saya pun tergerak untuk mengetahui sosok kakek, yang ternyata mempunyai garis lurus dengan sejarah masuknya agama Islam di pulau Tomia, sebuah pulau di Wakatobi, tempat yang kini mulai terkenal karena Taman Lautnya yang lebih indah dari Bunaken.
Gelombang awal: Dari Aceh hingga Tomia
Pembawa islam pada gelombang ini adalah Encik Sulaiman, seorang ulama’ sekaligus pedagang dari Aceh.
Ketika beliau pulang dari Banda (bagian dari kesultanan Ternate) seusai berdagang, perahu (kora-kora) yang beliau gunakan untuk barang-barang perdagangannya tenggelam sekitar 12 mil dari pulau Tomia. Kemudian barang-barang itu ditumpuk di sebuah tempat bernama ‘sokkoa’ (yang dalam bahasa Tomia berarti: penuh sesak dengan barang) yang terletak di pulau Lentea, sebuah pulau kecil yang ada di dekat Tomia. Kemudian semua barang-barang itu diangkat di Usuku, sebuah desa di Tomia.
Di saat itu, ternyata puteri Sangia Komba-Komba (penguasa Tomia) yang bernama Waja Walio sedang sakit dan tidak ada seorang tabib pun yang berhasil menyembuhkannya. Maka Encik Sulaiman pun mengobatinya dengan cara membacakan dan meniupkan shalawat ke dalam air untuk diminum si sakit, dan Alhamdulillah sang putri pun sembuh.
Keajaiban ini disaksikan oleh banyak penduduk asli pulau Tomia. Setelah mereka bertanya bagaimana cara pengobatan beliau, Encik Sulaiman pun membuka rahasia pengobatannya, namun para penduduk harus mengucapkan syahadat terlebih dahulu. Maka mereka pun membaca dua kalimat syahadat dan masuk Islam.
Encik sulaiman menikah dengan Waja Walio dan mempunyai anak bernama Sibatara, diambil dari kata ‘Sumatera’ untuk mengenang daerah asal ayahnya, karena Aceh terletak di pulau Sumatera.
Kini peninggalan-peninggalan Waja Walio dan La Sibatara dapat ditemui di kompleks bekas perkampungan tua Suo-suo yang dikelilingi benteng. Di sini juga terdapat koburu karama (kuburan keramat) atau te moori (tempat yang dijunjung tinggi) yaitu tempat dikebumikannya keluarga Waja Walio dan putranya La Sibarata.
Gelombang kedua: Kesultanan Buton
Pada gelombang ini ada tiga tahapan.
Pertama, berdasarkan keputusan musyawarah syara’ oleh Sultan Syamsudin dan para pejabat hukum agama diputuskan bahwa para lakina/bobato dan Bonto Siolimbona tidak boleh lagi tinggal di keraton, Tetapi harus berdakwah ke daerah-daerah yang ada di bawah pemerintahan kesultanan Buton. Maka diutuslah mereka, salah satunya adalah La Ode Maeta (putra dari Sultan Sangea Kopea) yang akhirnya tinggal dan berketurunan di Usuku (Tomia), dan La Ode Guntu yang tinggal dan berketurunan di Waha (Tomia).
Kedua, Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin (sultan Buton ke-25) mengutus puteranya Muhammad Yahya untuk mengajarkan Islam di Tomia. Fokus pada gelombang ini adalah membersihkan kepercayaan-kepercayaan lama yang tidak sesuai dengan Islam dan mendirikan masjid. Beliau berhasil membangun tiga masjid, yaitu di Waha, Usuku dan Tiruao.
Setelah beliau kembali, kegiatan ini dilanjutkan oleh murid-murid beliau: Muhammad Ja’far, La Ode Zenge dan La Ode Hade (kakek buyut saya).
Ketiga, dari La Ode Zenge dan kakek buyut saya, yaitu La Ode Hade ini, mereka mempunyai banyak murid yang akhirnya meneruskan dakwah para pendahulunya. Fokus dari para muridnya adalah pengajian yang diadakan di masjid-masjid dan rumah-rumah penduduk. Diantara para murid-murid ini adalah: Muhammad Thohir, La Ode Muslihi, Muhammad Hanafie dan kakek saya La Ode Sulaiman bin La Ode Hade. (Khusus untuk Muhammad hanafie, kata ibu saya ia meragukan kalo H.Hanafi adalah murid La Ode Hade, tapi yang tepat adalah ia murid La Ode Sulaiman walaupun Hanafie dan La Ode Sulaiman ini sepantaran. Wallahu a’lam).
Gelombang ketiga
PP. Sidogiri di Pasuruan adalah salah satu pesantren yang diduga tertua di Jawa Timur dan masih eksis hingga saat ini. Pesantren yang didirikan oleh Sayyid Sulaiman yang makamnya ada di Mojoagung ini mumpunyai kebijakan bahwa santri yang akan lulus harus mengabdi berdakwah selama satu tahun ke tempat yang ditentukan oleh Pesantren.
Maka seorang santri, yang notabene adalah Paman saya, bernama Haji Husni bin Madani bin Romli bin Habsyi bin Samin bin Sagira bin Etem bin Muhyiddin dikirim oleh Kiyainya untuk berdakwah di Pulau Tomia.
Maka berangkatlah Haji Husni yang orang Madura ini ke Pulau tersebut, saat itu untuk mencapai pulau Tomia dari Surabaya membutuhkan waktu sekitar dua minggu dengan kapal pedagang dari Buton dan sekitarnya (Saat ini, para pedagang dari Buton masih banyak di pelabuhan Gresik dan Probolinggo).
Fokus yang dikembangkan oleh haji Husni di masa ini adalah pembelajaran seperti yang ada di Pesantren-pesantren Jawa. Seperti Fiqh, aqidah, tajwid dan lain sebagainya.
Bersambung.
Encik sulaiman menikah dengan Waja Walio dan mempunyai anak bernama Sibatara, diambil dari kata ‘Sumatera’ untuk mengenang daerah asal ayahnya, karena Aceh terletak di pulau Sumatera.
Kini peninggalan-peninggalan Waja Walio dan La Sibatara dapat ditemui di kompleks bekas perkampungan tua Suo-suo yang dikelilingi benteng. Di sini juga terdapat koburu karama (kuburan keramat) atau te moori (tempat yang dijunjung tinggi) yaitu tempat dikebumikannya keluarga Waja Walio dan putranya La Sibarata.
Gelombang kedua: Kesultanan Buton
Pada gelombang ini ada tiga tahapan.
Pertama, berdasarkan keputusan musyawarah syara’ oleh Sultan Syamsudin dan para pejabat hukum agama diputuskan bahwa para lakina/bobato dan Bonto Siolimbona tidak boleh lagi tinggal di keraton, Tetapi harus berdakwah ke daerah-daerah yang ada di bawah pemerintahan kesultanan Buton. Maka diutuslah mereka, salah satunya adalah La Ode Maeta (putra dari Sultan Sangea Kopea) yang akhirnya tinggal dan berketurunan di Usuku (Tomia), dan La Ode Guntu yang tinggal dan berketurunan di Waha (Tomia).
Kedua, Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin (sultan Buton ke-25) mengutus puteranya Muhammad Yahya untuk mengajarkan Islam di Tomia. Fokus pada gelombang ini adalah membersihkan kepercayaan-kepercayaan lama yang tidak sesuai dengan Islam dan mendirikan masjid. Beliau berhasil membangun tiga masjid, yaitu di Waha, Usuku dan Tiruao.
Setelah beliau kembali, kegiatan ini dilanjutkan oleh murid-murid beliau: Muhammad Ja’far, La Ode Zenge dan La Ode Hade (kakek buyut saya).
Ketiga, dari La Ode Zenge dan kakek buyut saya, yaitu La Ode Hade ini, mereka mempunyai banyak murid yang akhirnya meneruskan dakwah para pendahulunya. Fokus dari para muridnya adalah pengajian yang diadakan di masjid-masjid dan rumah-rumah penduduk. Diantara para murid-murid ini adalah: Muhammad Thohir, La Ode Muslihi, Muhammad Hanafie dan kakek saya La Ode Sulaiman bin La Ode Hade. (Khusus untuk Muhammad hanafie, kata ibu saya ia meragukan kalo H.Hanafi adalah murid La Ode Hade, tapi yang tepat adalah ia murid La Ode Sulaiman walaupun Hanafie dan La Ode Sulaiman ini sepantaran. Wallahu a’lam).
Gelombang ketiga
PP. Sidogiri di Pasuruan adalah salah satu pesantren yang diduga tertua di Jawa Timur dan masih eksis hingga saat ini. Pesantren yang didirikan oleh Sayyid Sulaiman yang makamnya ada di Mojoagung ini mumpunyai kebijakan bahwa santri yang akan lulus harus mengabdi berdakwah selama satu tahun ke tempat yang ditentukan oleh Pesantren.
Maka seorang santri, yang notabene adalah Paman saya, bernama Haji Husni bin Madani bin Romli bin Habsyi bin Samin bin Sagira bin Etem bin Muhyiddin dikirim oleh Kiyainya untuk berdakwah di Pulau Tomia.
Maka berangkatlah Haji Husni yang orang Madura ini ke Pulau tersebut, saat itu untuk mencapai pulau Tomia dari Surabaya membutuhkan waktu sekitar dua minggu dengan kapal pedagang dari Buton dan sekitarnya (Saat ini, para pedagang dari Buton masih banyak di pelabuhan Gresik dan Probolinggo).
Fokus yang dikembangkan oleh haji Husni di masa ini adalah pembelajaran seperti yang ada di Pesantren-pesantren Jawa. Seperti Fiqh, aqidah, tajwid dan lain sebagainya.
Bersambung.
ada pernah sy dengar seorang yg hebat bernama Haji Sulaiman. Beliau digelari dengan nama Mojina Kalau...
ReplyDeleteCoba hubungi lewat Facebook seseorang yg bernama Syarif Patiroy. siapa tahu beliau bisa bantu, krna beliau pegang catatan buku silsilah raja dan pembesar-pembesar Kesultanan Buton
Menarik untuk didiskusikan, bagaimana selanjutnya?
ReplyDeleteJika ada waktu, insya Allah segera akan saya tulis di blog ini kelanjutannya :)
DeleteMenarik untuk didiskusikan, bagaimana selanjutnya?
ReplyDeleteapakah ada yang Pernah Mengenal Nama Laode JENE di tanah Tomia,, khususnya di usuku,, lahir tahun 1880an,, wafat di ambon tahun 1944
ReplyDeleteSyarif Pattiroi Dari Sulawesi Ya
ReplyDeleteBagus juga narasinya. Apakah La Ode Sulaiman yang dimaksud adalah orang tuanya almarhum pak Arif Sulaiman?(idha wa ode Jamani)
ReplyDeleteKarena kalau beliau H. Hanafi lebih senior. Kalau H. Muhammad Tahir?