Suatu malam, puluhan tahun lalu, Cak Gopar kecil bersama abah dan uminya naik ke atap lantai dua sebuah gedung yang sedang dibangun untuk melihat sejauh mana hasil bangunan yang nantinya akan dibuat untuk perpustakaan dan kamar beberapa ustadz itu.
Dan entah apa yang dirasa Abah, dia meminta Gopar kecil mengambil tikar untuk kemudian kami bertiga baring diatas gedung itu. Lantai yang masih berupa cor-coran, tak ada dinding, apalagi genting sebagai atap. Bertiga kami berbaring sejajar, Gopar kecil dengan manja baring di tengah kedua orangtuanya. Kami bertiga pun ngobrol ngalur-ngidul berbicara apa saja. Tentu saja Gopar Kecil yang masih ingusan itu menjadi bahan candaan dan manjaan dari kedua orang yang disayanginya itu.
Berbaring sembari memandang indahnya bulan dan bintang-bintang di langit itu membuat imajinasi Gopar kecil menjadi liar. Dia membayangkan kiranya ada monster ala film Ultraman datang dari planet lain dan menyerang bumi saat itu, atau keluarga Superman yang datang dari planet Crypton untuk mencari manusia super yang dulu dikirim ke bumi, juga alien-alien jahat yang akan menghancurkan kampung Gopar kecil. Dan tentu saja pelajaran dari ustadz tadi sore merayap menakutkan dalam imajinasi si Gopar kecil, tentang hancurnya Bumi, Langit dan alam semesta seluruhnya. Kehancuran ini melekat sampai kini, Hari Kiamat.
“Abah, Kalau seandainya bumi ini jatuh, Jatuhnya jatuh kemana ya bah?” Tanya Gopar kecil kepada abahnya sebagai kesimpulan atas imajinasinya memandang bulan dan bintang-bintang yang menempel di langit itu.
Abah hanya melongo terdiam, bingung dengan pertanyaan anak bungsunya yang masih unyu-unyu itu. Lebih tepatnya, bingung karena nggak bisa jawab.
Walau tak mendapat jawaban, Gopar kecil masih saja terus berimajinasi “nanti kalau kiamat terjadi, saya mau sembunyi di bawah meja atau di dalam lemari kayu jati besar itu”. Gopar kecil pun terkekeh renyah, membayangkan kiamat tidak akan mampu menemukannya di bawah meja atau dalam lemari. Ia pun tertidur senyum dibawah langit, di tengah orang yang disayangi.
Al-Insanu Hayawanun Nathiq, kalimat ini dibaca Cak Gopar pertama kali ketika belajar pelajaran Manthiq alias Logika di bangku madrasah dulu. Ya, Manusia adalah hewan yang berpikir. Begitu makna dari kalimat tersebut. Jika ada manusia yang tidak menggunakan pikirannya, apalah bedanya dengan sapi, kambing, monyet dan lain-lain?. Manusia itu bisa berharga jika ia menggunakan ‘otak’nya. Cak Gopar malah menyimpulkan Sapi lebih berharga daripada manusia tak waras yang tidak lagi menggunakan pikirannya. Kok bisa?. Cak Gopar pernah melihat orang gila berlari keliling kampung sembari berteriak tak jelas, maka manusia model ini hanya jadi objek tertawaan. Beda dengan kejadian beberapa tahun lalu di kampung Cak Gopar, ketika seekor sapi milik Pak Sudrun lepas dari kandangnya dan ngamuk tak jelas, Pak Sudrun sudah jengkel dan jengah oleh ulah sapi yang lepas tak terkendali itu. Maka ia pun mengumumkan siapa saja yang bisa menangkap sapinya itu maka ia boleh memilikinya. Maka seluruh laki-laki di kampung Cak Gopar pun berebutan ingin memilikinya. Jadi, Sapi lebih berharga daripada manusia yang tidak menggunakan pikirannya. Karena pikiran ini adalah garis pembeda antara manusia dan hewan.
Gusti Allah sangat sering memerintahkan manusia untuk selalu menggunakan pikirannya. Bahkan sindiran-sindiran a falaa ta’qilunn? A falaa tatafakkaruun? dan semisalnya sering kita baca dan dengarkan dari al-Qur’an. Apakah kalian tidak berfikir? Apakah kalian tidak menggunakan akal?. Tentu saja bumi yang dihamparkan untuk manusia ini tidak hanya untuk dilihat oleh mata yang nempel di kepala! Tidak!. Tapi lebih dari itu, semua yang dilihat oleh mata harus dilanjutkan ke otak untuk dipikirkan, hasil dari pikiran itulah yang bisa menjadi hikmah tersendiri di hati.
Dan entah apa yang dirasa Abah, dia meminta Gopar kecil mengambil tikar untuk kemudian kami bertiga baring diatas gedung itu. Lantai yang masih berupa cor-coran, tak ada dinding, apalagi genting sebagai atap. Bertiga kami berbaring sejajar, Gopar kecil dengan manja baring di tengah kedua orangtuanya. Kami bertiga pun ngobrol ngalur-ngidul berbicara apa saja. Tentu saja Gopar Kecil yang masih ingusan itu menjadi bahan candaan dan manjaan dari kedua orang yang disayanginya itu.
Berbaring sembari memandang indahnya bulan dan bintang-bintang di langit itu membuat imajinasi Gopar kecil menjadi liar. Dia membayangkan kiranya ada monster ala film Ultraman datang dari planet lain dan menyerang bumi saat itu, atau keluarga Superman yang datang dari planet Crypton untuk mencari manusia super yang dulu dikirim ke bumi, juga alien-alien jahat yang akan menghancurkan kampung Gopar kecil. Dan tentu saja pelajaran dari ustadz tadi sore merayap menakutkan dalam imajinasi si Gopar kecil, tentang hancurnya Bumi, Langit dan alam semesta seluruhnya. Kehancuran ini melekat sampai kini, Hari Kiamat.
“Abah, Kalau seandainya bumi ini jatuh, Jatuhnya jatuh kemana ya bah?” Tanya Gopar kecil kepada abahnya sebagai kesimpulan atas imajinasinya memandang bulan dan bintang-bintang yang menempel di langit itu.
Abah hanya melongo terdiam, bingung dengan pertanyaan anak bungsunya yang masih unyu-unyu itu. Lebih tepatnya, bingung karena nggak bisa jawab.
Walau tak mendapat jawaban, Gopar kecil masih saja terus berimajinasi “nanti kalau kiamat terjadi, saya mau sembunyi di bawah meja atau di dalam lemari kayu jati besar itu”. Gopar kecil pun terkekeh renyah, membayangkan kiamat tidak akan mampu menemukannya di bawah meja atau dalam lemari. Ia pun tertidur senyum dibawah langit, di tengah orang yang disayangi.
***
Al-Insanu Hayawanun Nathiq, kalimat ini dibaca Cak Gopar pertama kali ketika belajar pelajaran Manthiq alias Logika di bangku madrasah dulu. Ya, Manusia adalah hewan yang berpikir. Begitu makna dari kalimat tersebut. Jika ada manusia yang tidak menggunakan pikirannya, apalah bedanya dengan sapi, kambing, monyet dan lain-lain?. Manusia itu bisa berharga jika ia menggunakan ‘otak’nya. Cak Gopar malah menyimpulkan Sapi lebih berharga daripada manusia tak waras yang tidak lagi menggunakan pikirannya. Kok bisa?. Cak Gopar pernah melihat orang gila berlari keliling kampung sembari berteriak tak jelas, maka manusia model ini hanya jadi objek tertawaan. Beda dengan kejadian beberapa tahun lalu di kampung Cak Gopar, ketika seekor sapi milik Pak Sudrun lepas dari kandangnya dan ngamuk tak jelas, Pak Sudrun sudah jengkel dan jengah oleh ulah sapi yang lepas tak terkendali itu. Maka ia pun mengumumkan siapa saja yang bisa menangkap sapinya itu maka ia boleh memilikinya. Maka seluruh laki-laki di kampung Cak Gopar pun berebutan ingin memilikinya. Jadi, Sapi lebih berharga daripada manusia yang tidak menggunakan pikirannya. Karena pikiran ini adalah garis pembeda antara manusia dan hewan.
Gusti Allah sangat sering memerintahkan manusia untuk selalu menggunakan pikirannya. Bahkan sindiran-sindiran a falaa ta’qilunn? A falaa tatafakkaruun? dan semisalnya sering kita baca dan dengarkan dari al-Qur’an. Apakah kalian tidak berfikir? Apakah kalian tidak menggunakan akal?. Tentu saja bumi yang dihamparkan untuk manusia ini tidak hanya untuk dilihat oleh mata yang nempel di kepala! Tidak!. Tapi lebih dari itu, semua yang dilihat oleh mata harus dilanjutkan ke otak untuk dipikirkan, hasil dari pikiran itulah yang bisa menjadi hikmah tersendiri di hati.
Ketika mata melihat daun, maka pikirkan, ambil hikmahnya!. Mata melihat pemandangan indah, maka pikirkan, lalu tadabburi untuk diambil hikmahnya. Lihat sebuah keluarga yang makan di McDonald, perhatikan dan pikirkan, ambil hikmah yang bisa didapat. Melihat orang cacat, melihat mobil tabrakan, baca status teman di Facebook, baca iklan di papan reklame pinggir jalan, ada pengemis tua, ada anak kecil main bola, ada berita korupsi, ada berita soal seorang nenek diperkosa minta lagi, pokoknya perhatikan! Pikirkan baik-baik, dan jangan lupa ambil hikmahnya!
Ayat ini tentu saja ayat yang luar biasa, bukan hal remeh temeh. Walaupun Cak Gopar belum pernah melihat unta kecuali di Kebun Binatang Surabaya, melihat jauhnya langit hanya dengan mata telanjang dan tidak pernah menggunakan teleskop, melihat gunung meletus hanya dari layar berita televisi dan membaca di kertas koran, juga cuma bisa jalan di atas Bumi dan tdak pernah berhasil menanam setangkai padi di atas bumi seperti para petani. Tapi Cak Gopar minimal berkesimpulan sederhana, ayat ini memintanya untu selalu “melihat dan memikirkan”. Tentu saja kesimpulannya menjadi hikmah yang akan menjelma sebagai kebijaksanaan masing-masing pribadi.
Beberapa bulan lalu, Cak Gopar pernah menangis sesenggukan. Gara-garanya Cak Gopar sebenarnya diam-diam sedang menulis sebuah buku yang sampai sekarang belum selesai. Ketika membaca beberapa kitab tafsir sebagai bahan, Cak Gopar membaca cerita tentang tangisan Rasulullah Saw. yang khawatir atas umatnya tidak menggunakan pikirannya. Berikut Cak Gopar copy-paste kan potongan tulisannya yang dikutip dari kitab Subul al-Huda wa al-Rasyad fi Sirat Khair al-Ibad :
Hal ini sebagaimana yang diceritakan oleh istri beliau Aisyah Rha. Suatu ketika Rasulullah Saw. mendatanginya di malam hari. Karena malam itu adalah malam gilirannya, Aisyah Rha, pun menceritakan pada malam itu ia dan Rasulullah Saw. berada dalam satu selimut. Tiba-tiba Rasulullah Saw. meminta izin kepada Aisyah Rha. untuk mendirikan shalat malam, bermunajat kepada Allah Swt. Beliau bersabda :
“Sungguh aku senang berdekatan denganmu (akan tetapi) aku suka apa-apa yang membuatmu senang.” Jawab Aisyah Rha.
Maka Rasulullah Saw. pun bangkit untuk mendirikan shalat pada malam itu. Kemudian beliau membaca al-Quran dan menangis. Begitu derasnya tangisan beliau hingga airmatanya mengalir ke pangkuan beliau.
Lalu Rasulullah Saw. meletakkan lambung kanannya (berbaring) dan meletakkan tangan kanannya di bawah pipi (sebagai bantalan). Kemudian beliau masih tetap menangis sehingga air mata beliau mengalir ke lantai.
Kemudian sahabat Bilal bin Rabah Ra. datang dan mengumandangkan adzan subuh. Lalu ia tercengang ketika melihat manusia yang begitu dicintainya itu sedang menangis. Tangisan yang hebat.
“Ya Rasulullah. Apakah engkau menangis, padahal sungguh Allah swt. telah memaafkan seluruh dosamu baik yang telah lalu ataupun yang akan datang?.” Tanya Bilal mencoba menenangkan.
“Wahai Bilal, apakah aku tidak boleh menjadi seorang hamba yang bersyukur. Padahal sungguh malam ini turun sebuah ayat kepadaku.” Jawab Rasulullah Saw. kemudian beliau membacakan ayat yang dimaksud.
Lalu Rasulullah Saw. menunjukkan kekhawatiran atas umatnya yang tidak mengetahui kandungan ayat tersebut. Beliau bersabda :
Setelah menulis catatan singkat ini, Cak Gopar bersyukur. Alhamdulillah dengan adanya tulisan ini ternyata Cak Gopar itu bukan Sapi. Tapi lebih dari itu, Cak Gopar ingin membuktikan kepada dirinya, selain melihat, berpikir, dan mengambil hikmah, Cak Gopar mencoba untuk menuliskannya, untuk dibaca bersama-sama temannya di blog ini, untuk diambil hikmahnya bersama-sama juga, semoga menjadi kebijaksanaan bagi setiap yang membaca,
Jadi, Cak Gopar itu bukan sapi. Bagaimana dengan kamu?
Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana Dia diciptakan ?, dan langit, bagaimana ia ditinggikan ?, dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?, dan bumi bagaimana ia dihamparkan? (Qs. Al-Ghosiyah : 17-20)
Ayat ini tentu saja ayat yang luar biasa, bukan hal remeh temeh. Walaupun Cak Gopar belum pernah melihat unta kecuali di Kebun Binatang Surabaya, melihat jauhnya langit hanya dengan mata telanjang dan tidak pernah menggunakan teleskop, melihat gunung meletus hanya dari layar berita televisi dan membaca di kertas koran, juga cuma bisa jalan di atas Bumi dan tdak pernah berhasil menanam setangkai padi di atas bumi seperti para petani. Tapi Cak Gopar minimal berkesimpulan sederhana, ayat ini memintanya untu selalu “melihat dan memikirkan”. Tentu saja kesimpulannya menjadi hikmah yang akan menjelma sebagai kebijaksanaan masing-masing pribadi.
Beberapa bulan lalu, Cak Gopar pernah menangis sesenggukan. Gara-garanya Cak Gopar sebenarnya diam-diam sedang menulis sebuah buku yang sampai sekarang belum selesai. Ketika membaca beberapa kitab tafsir sebagai bahan, Cak Gopar membaca cerita tentang tangisan Rasulullah Saw. yang khawatir atas umatnya tidak menggunakan pikirannya. Berikut Cak Gopar copy-paste kan potongan tulisannya yang dikutip dari kitab Subul al-Huda wa al-Rasyad fi Sirat Khair al-Ibad :
يا عائشة ائذني لي في ليلتي لربي
“Wahai Aisyah, izinkan aku pada malamku ini bermunajat kepada Rabb-ku.”
“Sungguh aku senang berdekatan denganmu (akan tetapi) aku suka apa-apa yang membuatmu senang.” Jawab Aisyah Rha.
Maka Rasulullah Saw. pun bangkit untuk mendirikan shalat pada malam itu. Kemudian beliau membaca al-Quran dan menangis. Begitu derasnya tangisan beliau hingga airmatanya mengalir ke pangkuan beliau.
Lalu Rasulullah Saw. meletakkan lambung kanannya (berbaring) dan meletakkan tangan kanannya di bawah pipi (sebagai bantalan). Kemudian beliau masih tetap menangis sehingga air mata beliau mengalir ke lantai.
Kemudian sahabat Bilal bin Rabah Ra. datang dan mengumandangkan adzan subuh. Lalu ia tercengang ketika melihat manusia yang begitu dicintainya itu sedang menangis. Tangisan yang hebat.
“Ya Rasulullah. Apakah engkau menangis, padahal sungguh Allah swt. telah memaafkan seluruh dosamu baik yang telah lalu ataupun yang akan datang?.” Tanya Bilal mencoba menenangkan.
“Wahai Bilal, apakah aku tidak boleh menjadi seorang hamba yang bersyukur. Padahal sungguh malam ini turun sebuah ayat kepadaku.” Jawab Rasulullah Saw. kemudian beliau membacakan ayat yang dimaksud.
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (QS. Ali Imran : 190).
Lalu Rasulullah Saw. menunjukkan kekhawatiran atas umatnya yang tidak mengetahui kandungan ayat tersebut. Beliau bersabda :
وَيْلٌ لمن قرأها ولم يتفكّر فيها
“Celaka bagi yang membaca ayat ini dan dia tidak berfikir kandungan yang ada di dalamnya.”
***
Setelah menulis catatan singkat ini, Cak Gopar bersyukur. Alhamdulillah dengan adanya tulisan ini ternyata Cak Gopar itu bukan Sapi. Tapi lebih dari itu, Cak Gopar ingin membuktikan kepada dirinya, selain melihat, berpikir, dan mengambil hikmah, Cak Gopar mencoba untuk menuliskannya, untuk dibaca bersama-sama temannya di blog ini, untuk diambil hikmahnya bersama-sama juga, semoga menjadi kebijaksanaan bagi setiap yang membaca,
Jadi, Cak Gopar itu bukan sapi. Bagaimana dengan kamu?
0 blogger-facebook:
Post a Comment