“Pujangga, Rajin2 lah belajar, jaga sholat berjamaah trtm sholat mlm. Hati2 dlm prgaulan. Beri kabar klo sdh sampai jkrt! Secepatnya Abah kirim uang.” Sms dari Abah tertera di handphone pemuda yang bernama Pujangga itu. Ada sesuatu yang terlintas di hati Pujangga. Wajahnya nampak tak kuasa untuk menggambarkan suasana hati setelah membaca pesan pendek dari Abah.
Padahal baru sekitar lima menit yang lalu Abah mengucapkannya langsung ketika mengantarkannya di Stasiun Pasar Turi Surabaya. Dadanya yang datar nampak menghirup nafas panjang untuk sekedar mengusir kesedihan atas kenyataan berpisah dengan keluarganya.
“Iya bah, jgn lupa doakan saya slalu” ketik Pujangga membalas pesan.
Suara bising kereta api, teriakan pedagang menawarkan dagangan, nyanyian fals pengamen, jerit tangis bayi, pengemis memelas, peminta sumbangan, penjual obat dan masih banyak lagi sandiwara kehidupan yang menghiasi perjalanannya dalam kereta kelas ekonomi itu. Peluh keringat, bau pesing dari toilet kereta yang tak tersedia air, dan kotoran yang berserakan seakan menambah parah keadaan yang sudah semrawut itu. Pujangga berpaling menoleh melihat pemandangan dari jendela di sampingnya, rupanya ini cukup membantunya mengurangi rasa sumpek melihat keadaan di kereta itu. Lama dia perhatikan lintasan-lintasan pemandangan dari jendela itu, dengan mengabaikan apa yang terjadi dalam kereta, secara berlahan-lahan pikirannya melayang menerawang terbawa ke tempat lain, mengikuti lintasan-lintasan yang ia lihat dari jendela itu nampaknya bagaikan menonton sebuah layar lebar tentang kehidupannya sendiri dimasa lalu. Walaupun berbeda dengan apa yang nampak dari jendela kereta itu, pikirannya terus melayang ke masa lalu, dia teringat ketika Abah mengajarkannya alif ba’ ta’ untuk pertamakali, Abah selalu mencubit pahanya kalau dia salah membaca. Bila dia lupa salah satu pelajaran darinya, Abah selalu siap dengan kayu kecil untuk memukul pantatnya. Lalu muncullah Chandradimuka, adiknya sendiri sebagai pahlawan untuk menyelamatkan dari pukulan itu, sebelum Abah memukulnya, terkadang Chandra yang juga mengaji bersamanya berusaha memberikan kode-kode isyarat tertentu kepadanya agar bisa menjawab sehingga Abah tak jadi memukulnya.
Pipinya menciptakan lesung kecil yang menggemaskan ketika Pujangga mengingat kejadian itu. Dua kakak beradik ini memang nampak sangat berbeda, tidak hanya bagai pinang dibelah dua pribahasa yang cocok bagi mereka berdua, malah lebih tepatnya bagai pinang yang dibela-belah, sangat berbeda memang.
Dibanding Pujangga, Chandradimuka lebih cerdas menangkap pelajaran apapun yang diberikan kedua orangtuanya, dan dengan status ‘anak bungsu’nya itu Chandradimuka lebih dekat dengan Ummi. Berbeda dengan Pujangga, walau ia juga lebih dekat dengan Ummi yang notabene bersifat halus, tapi ia terkenal sangat bandel di luar rumah. Meskipun kenakalannya masih dalam tataran kenakalan anak kampung, tetap saja membuat Abah berpikir tentang dosa apakah ia sehingga mempunyai anak yang dicap sebagai preman kampung di desanya itu. Apalagi Abah adalah salah satu tokoh masyarakat di desa itu, lebih dari itu, tokoh agama juga melekat didirinya karena masyarakat desa Beci Dukuh menyerahkan anak-anaknya kepada Abah untuk dididik tata krama dan ilmu agama. Jelas saja Abah sering kebakaran jenggot karena ulah anak pertamanya ini.
Kereta api berhenti di tengah sawah, beberapa menit kemudian lewat dengan sangat cepatnya kereta bewarna putih yang menandakan itu adalah kereta eksekutif. Rupanya kereta ekonomi yang Pujangga naiki baru saja mengalah dengan kereta kaya itu. Ia kembali menerawang ke masa lalu, sangat jelas sekali ulah-ulahnya yang bandel itu tergambar di benaknya berlarian. Angin dan debu dari luar jendela menerpa wajah dan kulit putihnya, mengibaskan dan menerbangkan beberapa helai rambut ikalnya. Tubuhnya tang kekar dan berisi itu bergoyang-goyang mengikuti guncangan kereta yang bukan main berisiknya itu.
Pemandangan kumpulan awan sore berwarna jingga di langit biru itu nampak seperti baru saja di beri warna oleh sinar matahari. Petak-petak sawah yang tadinya nampak masih hijau juga larut dalam warna jingga dari sinar matahari. Pemandangan itu mengingatkannya ketika dulu pulang menjelang maghrib sehabis bermain bola di lapangan desa, tiba-tiba Ummi menyuruhnya cepat-cepat mandi dan memakaikannya tiga lapis celana, ini karena Ummi tidak tega kalau paha Pujangga nantinya dipukul Abah karena dia sengaja tidak mengaji dan malah bermain bola sore itu.
Dulu dia pikir Abah adalah ayah yang kejam dan sangar, anggapannya ini didukung dengan ketidakberanian teman-temannya untuk bermain dirumahnya dengan alasan karena ada Abah yang juga guru ngaji mereka itu. Namun seiring waktu berjalan dan usianya semakin dewasa, dia berlahan mulai tahu bahwa Abah adalah ayah yang sangat sayang kepada keluarganya. Apa yang Abah lakukan semuanya untuk keluarga. ‘Keras tapi menjadi idola’, bisik hati Pujangga menegaskan tentang Abahnya itu. Beruntung ada Ummi yang sangat lembut terhadap anak-anaknya, bila Abah memarahi Pujangga misalnya, Ummi selalu menyediakan dirinya sebagai penyelesai masalah agar tidak berlarut-larut.
“Maaf mas, pemeriksaan tiket!” petugas kereta api membubarkan lamunannya. Selembar kertas merah tebal berbentuk persegi panjang diserahkannya yang lalu dikembalikan lagi kepada Pujangga setelah terlebih dahulu diberi lubang diatasnya sebagai tanda tiket itu sah dan telah diperiksa.
Petugas itu beralih ke penumpang yang duduk di kursi depannya melakukan hal serupa. Di belakangnya seorang polisi muda dengan potongan cepak khas tentara mengiringinya dengan membawa senapan laras panjang, entah berisi peluru atau tidak. Mungkin hanya untuk menakut-nakuti preman yang sering melawan petugas bila diminta tiketnya. Preman-preman kelas kereta ekonomi itu memang sering nongkrong di gerbong paling belakang dan bikin ulah bila tidak ditaku-takuti seperti itu.
Pujangga melihat keadaan didalam kereta masih sama seperti tadi, semrawut. Kembali dia memalingkan wajahnya melihat pemandangan dari jendela disampingnya Lintasan-lintasan yang dia lihat dari jendela kini berlahan membawa angannya untuk apa saja yang akan dilakukannya setiba di Jakarta nanti. Sebagaimana penduduk desa pada umumnya, Jakarta bagi mereka adalah kota yang sangat wah, gedung-gedung tinggi, ribuan mobil mewah, istana merdeka, setumpuk emas di atas sebuah monumen, gedung DPR dan seabrek kemewahan lainnya yang sering disiarkan di televisi itu semuanya sangat menarik orang desa untuk datang mengadu nasib ke Jakarta. Begitu juga Pujangga, walaupun tujuan utamanya ke Jakarta adalah kuliah, namun kilauan-kilauan Jakarta tetap menyilaukannya. Dia ingin punya kerja sambilan, “ya hitung-hitung buat tambahan biaya hidup di Jakarta, kerja apa saja terserah asal halal, kalau bisa sih mengajar ngaji” begitu angan sederhananya. Pujangga tersenyum.
Begitulah. Dalam kereta yang bising seperti itu pun Pujangga masih dapat menikmati lamunan serasa tanpa gangguan di atas kereta berisik itu. Memang terkadang lamunan yang penuh dengan angan-angan sering membuat lupa bahwa kita masih berangan-angan, belum melaksanakan. Kita lupa bahwa langit masih jauh di atas kita, lupa selama ini kita hanya bisa memandangnya, terlena dengan warna biru yang luas itu. Lupa bahwa kita masih berpijak di bumi.
“Hhhhh…” dihembuskan nafasnya dengan agak keras untuk sekedar mengusir penat dan lelah di tubuh.
Pujangga mengencangkan otot-otot tangan dengan meluruskannya, pinggang dia putar ke kanan dan ke kiri sebisanya, rupanya keadaan sesak seperti itu membuatnya tidak bisa leluasa menggerakkan tubuh. Matahari baru saja tenggelam, hanya mega senja yang menyinari bumi. Pemandangan dari jendela kereta perlahan nampak semakin gelap, persawahan yang tadi nampak hijau kini semakin luntur tak berwarna, pemandangan kumuh di luar juga mulai tak nampak, semuanya menjadi hitam. Bulan dan bintang-bintang mulai berhias.
“Haaahh…hhh” uapnya lagi sambil menutup mulut dengan telapak tangannya.
Lama-kelamaan pujangga benar-benar tak bisa menahan kantuk. Dia pejamkan matanya. Tertidur ditemani bulan yang seakan membuntuti perjalanannya di kereta itu. Senyum di bibirnya terurai menghiasi tidur lelapnya yang memimpikan desa dan cita-citanya. Keadaan di dalam kereta yang semrawut kini makin tambah parah, jalan di tengah kereta kini dipenuhi tubuh-tubuh yang tertidur dengan beralaskan koran bekas yang bisa dibeli seharga limaratus rupiah dari penjual koran yang barang dagangannya masih tersisa, di kolong kursi yang Pujangga duduki juga tidak luput untuk dijadikan tempat tidur oleh penumpang yang tidak kebagian kursi. Mau tidak mau Pujangga tidur dengan kaki bersila di atas kursi.
Pedagang masih tetap menjajakan dagangan, pengamen masih bernyanyi dengan suara serak parau, pengemis masih memelas, semuanya masih tetap setia menjadi pemain dalam sebuah sandiwara kecil di atas kereta itu. Sedangkan Pujangga yang tadinya terganggu dengan semua itu kini mulai bisa menikmatinya. Kereta terus melaju, bergoyang-goyang bersetubuh dengan rel. Pujangga serasa di-nina bobok-an. Dia tertidur.
Sementara itu, jauh di sebuah kamar di rumahnya, dua orang duduk di atas sajadah menengadahkan tangan dengan penuh deraian air mata. Menangis dalam munajat yang paling rahasia.
“Ya Allah, tanamilah hati anak-anak kami dengan sebiji dzarrah dari Rahman-Mu, Taburilah mereka dengan pupuk Rohim-Mu, Siramilah mereka dengan kehausan akan ilmu-Mu, Hiasilah mereka dengan akhlak qur’an-Mu, Ridhoilah mereka dengan surga-Mu, Sesungguhnya Engkaulah Dzat Sang Maha Cinta yang mengabulkan doa para pencinta-Mu.” Doa Abah dengan pipi basah penuh tangis.
“Amin…” sambut Ummi.
“Sialan lo…!!!” teriak sopir angkot.
“lo yang sialan. Mata lo dimana? dasar sopir goblok!!!” sahut sopir bus tak kalah kasarnya.
“eh setan lo berdua, jangan berantem di jalan dong!, emang nih jalan nenek lo?” pengendara motor kesal.
Umpatan-umpatan kasar menghiasi jalanan kota Jakarta di pagi itu. Sinar matahari yang hangat seharusnya juga menghangatkan hati, namun nampaknya ini tak berlaku ketika Pujangga melangkahkan kaki untuk pertama kalinya di kota itu. Gedung-gedung tinggi seakan-akan menunjukkan keangkuhan kota Jakarta, dindingnya dari kaca-kaca yang memantulkan sinar matahari itu makin membuat panas, asap kendaraan juga tak kalah makin memperkeruh suasana, bunyi klakson bersahut-sahutan, umpatan-umpatan menggema dimana-mana, inikah wajah Jakarta yang membuat orang-orang desa terkesima?.
“Rawamangun mas!” ucap Pujangga pada sopir taksi yang dinaikinya.
“Ke alamat ini ya mas!” ucapnya lagi sambil menyerahkan selembar kertas berisikan alamat yang akan ditujunya.
Taksi yang dinaikinya merambat dengan cepat di jalanan, sedikit lega dia rasakan ketika semua yang menghiasi kota ini tak lagi terdengar tertutup oleh jendela taksi. Dia pejamkan matanya sesaat, namun rasa lega itu tak berlangsung lama ketika dia kembali membuka kedua matanya karena macet sudah siap menghadang didepan, bibir Pujangga merengut manyun menahan kesal.
“Dari Surabaya ya bang?” tanya sopir taksi membubarkan kekesalannya.
“Iya mas, kok mas tahu?” tanya Pujangga balik.
“Asal tebak aja bang, cuma yang pasti abang ini sudah kelihatan kalau orang jawa.” Jawab sopir yakin.
“Kelihatan dari apanya mas?”
“Kelihatan dari yang barusan abang bilang, abang manggil aku dengan sebutan ‘mas’, padahal kalau orang sini kebanyakan pakai ‘bang’ untuk menyapa orang.”
“Berarti mas Siregar ini asli orang Jakarta ya?.”
“Bukan bang. Aku kelahiran Medan, orang Batak asli. Tapi setelah tamat SMA aku ikut paman merantau ke Jakarta. Tapi, ngomong-ngomong kok abang tahu aku punya nama Siregar?.”
“Itu di depan ada kartu identitas sopir” jawab Pujangga tersenyum.
“Ah, bisa saja kau ini bang.”
Taksi terus meluncur ke arah Rawamangun. Mas Siregar terus bercerita tentang awal kedatangannya di Jakarta. Dia bercerita dengan logat Batak yang masih sangat kental. Tak henti-hentinya Pujangga menoleh kanan-kiri melihat Jakarta. Sepintas tak berbeda jauh dengan kotanya, Surabaya.
“sepertinya hanya tingkat kemacetannya saja yang berbeda” ujarnya pada diri sendiri menilai.
Tak terasa dua jam sudah Pujangga duduk di taksi itu. Pakde Ali berdiri menyambutnya di teras ketika melihat sebuah taksi masuk ke halaman rumahnya.
“Ini mas.” Pujangga menyerahkan enam lembar uang pecahan duapuluh ribuan sesuai dengan yang tertera di argo, Rp.120.000.
“Makasih bang.”
Pakde yang masih memakai sarung menghampiri Pujangga penuh senyum ketika dia keluar dari taksi. Tangan kirinya masih memegang Koran pagi yang batal untuk dibacanya.
“Assalamu alaikum pakde”
“Wa alaikum salam”
“Bagaimana perjalanannya?” tanya pakde basa-basi. “Kamu pasti capek, ayo masuk dulu ke rumah.”
“Alhamdulillah pakde, perjalanannya gak capek-capek benar, wong di kereta saya tidur terus kok pakde.”
“Terus bagaimana keadaan Abah dan Ummi di rumah?”
“Alhamdulillah, sekeluarga baik-baik saja. Ngomong-ngomong bude mana pakde?”
“Bu…, ibu…, ini lho keponakanmu sudah datang” teriak pakde memanggil bude. “mbok ya ditemui dulu, jangan di dapur aja bu!!”
Tak lama kemudian bude datang tergesa-gesa dari dapur, badannya yang besar terguncang-guncang karena berjalan tergesa-gesa, senyum lebar menghiasi wajah, sangat sumringah. Pujangga berdiri dan langsung mencium tangannya.
“Ealah le.. tole…, kamu ini lho kok cepat besar toh?” kata bude yang lalu memeluk Pujangga erat ingin melepas rasa kangennya. Sangat erat pelukan kangen itu.
Bude Ali adalah kakak perempuan Ummi satu-satunya. Dia memang sangat menyayangi Pujangga dan adiknya Chandradimuka. Maklum, hanya mereka berdua keponakannya. Selain itu bude belum mempunyai anak, lebih tepatnya tidak bisa melahirkan karena pernah mengidap kanker rahim yang kini sudah diangkat. Sebab itu bude menganggap Pujangga dan adiknya sebagai anaknya sendiri.
“Sudah dulu kangennya bu!, suruh dia istirahat!” sahut pakde mengingatkan bude yang kelihatannya masih belum puas melepaskan kangennya.
“Ayo sini bude antar ke kamarmu. Kemarin sudah bude bersihkan supaya kamu nantinya betah di sini. Tapi sebelum istirahat kamu mandi dulu ya!” perintah bude. “bau badanmu itu kecut banget waktu bude peluk tadi.”
Sambil tersenyum mendengar ucapan bude, Pujangga berlalu melangkah mengikuti budenya menuju kamar yang dimaksud.
BERSAMBUNG KE SINI.
“Hhhhh…” dihembuskan nafasnya dengan agak keras untuk sekedar mengusir penat dan lelah di tubuh.
Pujangga mengencangkan otot-otot tangan dengan meluruskannya, pinggang dia putar ke kanan dan ke kiri sebisanya, rupanya keadaan sesak seperti itu membuatnya tidak bisa leluasa menggerakkan tubuh. Matahari baru saja tenggelam, hanya mega senja yang menyinari bumi. Pemandangan dari jendela kereta perlahan nampak semakin gelap, persawahan yang tadi nampak hijau kini semakin luntur tak berwarna, pemandangan kumuh di luar juga mulai tak nampak, semuanya menjadi hitam. Bulan dan bintang-bintang mulai berhias.
“Haaahh…hhh” uapnya lagi sambil menutup mulut dengan telapak tangannya.
Lama-kelamaan pujangga benar-benar tak bisa menahan kantuk. Dia pejamkan matanya. Tertidur ditemani bulan yang seakan membuntuti perjalanannya di kereta itu. Senyum di bibirnya terurai menghiasi tidur lelapnya yang memimpikan desa dan cita-citanya. Keadaan di dalam kereta yang semrawut kini makin tambah parah, jalan di tengah kereta kini dipenuhi tubuh-tubuh yang tertidur dengan beralaskan koran bekas yang bisa dibeli seharga limaratus rupiah dari penjual koran yang barang dagangannya masih tersisa, di kolong kursi yang Pujangga duduki juga tidak luput untuk dijadikan tempat tidur oleh penumpang yang tidak kebagian kursi. Mau tidak mau Pujangga tidur dengan kaki bersila di atas kursi.
Pedagang masih tetap menjajakan dagangan, pengamen masih bernyanyi dengan suara serak parau, pengemis masih memelas, semuanya masih tetap setia menjadi pemain dalam sebuah sandiwara kecil di atas kereta itu. Sedangkan Pujangga yang tadinya terganggu dengan semua itu kini mulai bisa menikmatinya. Kereta terus melaju, bergoyang-goyang bersetubuh dengan rel. Pujangga serasa di-nina bobok-an. Dia tertidur.
Sementara itu, jauh di sebuah kamar di rumahnya, dua orang duduk di atas sajadah menengadahkan tangan dengan penuh deraian air mata. Menangis dalam munajat yang paling rahasia.
“Ya Allah, tanamilah hati anak-anak kami dengan sebiji dzarrah dari Rahman-Mu, Taburilah mereka dengan pupuk Rohim-Mu, Siramilah mereka dengan kehausan akan ilmu-Mu, Hiasilah mereka dengan akhlak qur’an-Mu, Ridhoilah mereka dengan surga-Mu, Sesungguhnya Engkaulah Dzat Sang Maha Cinta yang mengabulkan doa para pencinta-Mu.” Doa Abah dengan pipi basah penuh tangis.
“Amin…” sambut Ummi.
* * *
“Sialan lo…!!!” teriak sopir angkot.
“lo yang sialan. Mata lo dimana? dasar sopir goblok!!!” sahut sopir bus tak kalah kasarnya.
“eh setan lo berdua, jangan berantem di jalan dong!, emang nih jalan nenek lo?” pengendara motor kesal.
Umpatan-umpatan kasar menghiasi jalanan kota Jakarta di pagi itu. Sinar matahari yang hangat seharusnya juga menghangatkan hati, namun nampaknya ini tak berlaku ketika Pujangga melangkahkan kaki untuk pertama kalinya di kota itu. Gedung-gedung tinggi seakan-akan menunjukkan keangkuhan kota Jakarta, dindingnya dari kaca-kaca yang memantulkan sinar matahari itu makin membuat panas, asap kendaraan juga tak kalah makin memperkeruh suasana, bunyi klakson bersahut-sahutan, umpatan-umpatan menggema dimana-mana, inikah wajah Jakarta yang membuat orang-orang desa terkesima?.
“Rawamangun mas!” ucap Pujangga pada sopir taksi yang dinaikinya.
“Ke alamat ini ya mas!” ucapnya lagi sambil menyerahkan selembar kertas berisikan alamat yang akan ditujunya.
Taksi yang dinaikinya merambat dengan cepat di jalanan, sedikit lega dia rasakan ketika semua yang menghiasi kota ini tak lagi terdengar tertutup oleh jendela taksi. Dia pejamkan matanya sesaat, namun rasa lega itu tak berlangsung lama ketika dia kembali membuka kedua matanya karena macet sudah siap menghadang didepan, bibir Pujangga merengut manyun menahan kesal.
“Dari Surabaya ya bang?” tanya sopir taksi membubarkan kekesalannya.
“Iya mas, kok mas tahu?” tanya Pujangga balik.
“Asal tebak aja bang, cuma yang pasti abang ini sudah kelihatan kalau orang jawa.” Jawab sopir yakin.
“Kelihatan dari apanya mas?”
“Kelihatan dari yang barusan abang bilang, abang manggil aku dengan sebutan ‘mas’, padahal kalau orang sini kebanyakan pakai ‘bang’ untuk menyapa orang.”
“Berarti mas Siregar ini asli orang Jakarta ya?.”
“Bukan bang. Aku kelahiran Medan, orang Batak asli. Tapi setelah tamat SMA aku ikut paman merantau ke Jakarta. Tapi, ngomong-ngomong kok abang tahu aku punya nama Siregar?.”
“Itu di depan ada kartu identitas sopir” jawab Pujangga tersenyum.
“Ah, bisa saja kau ini bang.”
Taksi terus meluncur ke arah Rawamangun. Mas Siregar terus bercerita tentang awal kedatangannya di Jakarta. Dia bercerita dengan logat Batak yang masih sangat kental. Tak henti-hentinya Pujangga menoleh kanan-kiri melihat Jakarta. Sepintas tak berbeda jauh dengan kotanya, Surabaya.
“sepertinya hanya tingkat kemacetannya saja yang berbeda” ujarnya pada diri sendiri menilai.
Tak terasa dua jam sudah Pujangga duduk di taksi itu. Pakde Ali berdiri menyambutnya di teras ketika melihat sebuah taksi masuk ke halaman rumahnya.
“Ini mas.” Pujangga menyerahkan enam lembar uang pecahan duapuluh ribuan sesuai dengan yang tertera di argo, Rp.120.000.
“Makasih bang.”
Pakde yang masih memakai sarung menghampiri Pujangga penuh senyum ketika dia keluar dari taksi. Tangan kirinya masih memegang Koran pagi yang batal untuk dibacanya.
“Assalamu alaikum pakde”
“Wa alaikum salam”
“Bagaimana perjalanannya?” tanya pakde basa-basi. “Kamu pasti capek, ayo masuk dulu ke rumah.”
“Alhamdulillah pakde, perjalanannya gak capek-capek benar, wong di kereta saya tidur terus kok pakde.”
“Terus bagaimana keadaan Abah dan Ummi di rumah?”
“Alhamdulillah, sekeluarga baik-baik saja. Ngomong-ngomong bude mana pakde?”
“Bu…, ibu…, ini lho keponakanmu sudah datang” teriak pakde memanggil bude. “mbok ya ditemui dulu, jangan di dapur aja bu!!”
Tak lama kemudian bude datang tergesa-gesa dari dapur, badannya yang besar terguncang-guncang karena berjalan tergesa-gesa, senyum lebar menghiasi wajah, sangat sumringah. Pujangga berdiri dan langsung mencium tangannya.
“Ealah le.. tole…, kamu ini lho kok cepat besar toh?” kata bude yang lalu memeluk Pujangga erat ingin melepas rasa kangennya. Sangat erat pelukan kangen itu.
Bude Ali adalah kakak perempuan Ummi satu-satunya. Dia memang sangat menyayangi Pujangga dan adiknya Chandradimuka. Maklum, hanya mereka berdua keponakannya. Selain itu bude belum mempunyai anak, lebih tepatnya tidak bisa melahirkan karena pernah mengidap kanker rahim yang kini sudah diangkat. Sebab itu bude menganggap Pujangga dan adiknya sebagai anaknya sendiri.
“Sudah dulu kangennya bu!, suruh dia istirahat!” sahut pakde mengingatkan bude yang kelihatannya masih belum puas melepaskan kangennya.
“Ayo sini bude antar ke kamarmu. Kemarin sudah bude bersihkan supaya kamu nantinya betah di sini. Tapi sebelum istirahat kamu mandi dulu ya!” perintah bude. “bau badanmu itu kecut banget waktu bude peluk tadi.”
Sambil tersenyum mendengar ucapan bude, Pujangga berlalu melangkah mengikuti budenya menuju kamar yang dimaksud.
BERSAMBUNG KE SINI.
0 blogger-facebook:
Post a Comment