Tidak ada seorangpun di dunia ini yang terlepas dari berbuat salah dan terlebih yang bernilai dosa. Menjaga diri dan berusaha sekuat mungkin dari perilaku dosa adalah sesuatu yang bernilai sangat mulia. Namun tetap saja, manusia itu kecenderungannya adalah berbuat salah. Bahkan terkadang banyak juga yang justru mencari kesalahan orang lain dan lupa akan kesalahan diri sendiri.
‘Manusia adalah tempatnya salah dan lupa’, demikian kata pepatah yang sering kita dengar. Nampaknya ucapan ini benar adanya sebagaimana sabda Rasulullah Saw :
“Setiap Bani Adam adalah pembuat kesalahan. Dan pembuat kesalahan terbaik adalah orang-orang yang bertaubat” (HR. Tirmudzi).
Dengan kecenderungan berbuat salah itulah, sudah selayaknya setiap individu berupaya menjadikan diri sendiri sebagai manusia terbaik sebagaimana sabda Nabi Saw. di atas, yaitu manusia yang menyempatkan diri untuk bertaubat. Apalagi taubat adalah amal yang diperintahkan Sang Pencipta untuk dilakukan oleh setiap mukmin.
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuha.” [QS al-Tahrim/66:8].
Syekh al-Jurjani dalam kitabnya al-Ta’rifat menjelaskan bahwa yang dimaksud taubat adalah ‘kembali kepada Allah’. Hal ini dikarenakan karena ketika seseorang melakukan kesalahan yang bernilai dosa berarti ia selangkah menjauh dari Allah. Begitupun seterusnya, semakin ia banyak melakukan hal-hal yang berdosa maka ia semakian menjauh dari Allah Swt. Sehingga ketika ia memutuskan untuk bertaubat kepada Allah Swt., hal inilah yang dimaksud dengan ‘kembali kepada Allah’.
Menurut Sahabat Ibn Abbas Ra., seseorang dikatakan telah melakukan taubatan nasuhah alias taubat dengan sebenar-benarnya jika ia telah melakukan empat hal.
Pertama, adanya penyesalan dalam hati. Ini adalah upaya awal karena dari penyesalan yang ada di hati atas perilaku dosa inilah akan terlahir hal-hal positif yang luar biasa.
Kedua, lisannya melafalkan istighfar. Istighfar adalah kalimat yang berisi permohonan ampunan kepada Allah atas dosa-dosa yang telah dilakukan. Tentu saja kalimat istighfar begitu banyak ragamnya, dari yang paling sederhana dengan sekedar mengucapkan Astaghfirullahal Adzim, atau dengan bentuk kalimat istighfar yang paling top sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. yang dinamakan dengan Sayyidul Istghfar. Bahkan banyak juga para ulama di masa lalu yang membuat permohonan ampunan kepada Allah Swt. melalui syair-syair indah seperti yang sering kita dengar saat ini :
Lisan yang beristighfar sangatlah penting, hal ini sebagaimana pengakuan dari Rasulullah Saw. yang memberikan contoh kepada umatnya dengan selalu menyempatkan beristghfar kepada Allah pada setiap hari sebanyak seratus ucapan, padahal beliau adalah makshum, manusia yang terlepas dari dosa. “Sesugguhnya aku benar-benar beristghfar kepada Allah seratus kali dalam sehari” (HR. Muslim).
Ketiga, membentengi badan. Anggota badan kita merupakan eksekusi yang menentukan malaikat akan mencatat amal kita sebagai pahala atau dosa. Tangan dikatakan mencuri jika ia telah mengambil curiannya. Mata dikatakan telah bermaksiat jika dibiarkan bebas melihat sesuatu yang dilarang-Nya. Kaki pun dapat bermaksiat jika manusia menggunakanannya melangkah ke tempat yang disana ia akan berbuat dosa. Namun sebaliknya hal-hal tersebut akan dicatat kebaikan jika niat berbuat buruk hanya berhenti dalam hati saja, sedangkan anggota badan terbentengi dengan upaya tidak melakukannya. “Barang siapa berniat berbuat buruk namun ia tidak jadi mengerjakannya, maka Allah menulisnya di sisi-Nya sebagai satu kebaikan sempurna. Dan Barangsiapa berniat berbuat buruk kemudian ia melakukannya, maka Allah menuliskannya sebagai satu kesalahan. (HR. Bukhari dan Muslim).
Keempat, berketetapannya hati untuk tidak kembali mengulang. Suara dalam hati adalah langkah awal, dari hati inilah penyesalan bermula, dan dari hati jugalah visi yang ada di masa mendatang perlu ditetapkan. Karena berbuat salah bahkan berbuat sesuatu yang bernilai dosa adalah sesuatu yang begitu mudah untuk dilakukan manusia, maka ketetapan hati untuk tidak masuk dalam jurang dosa yang sama tentu saja sangat diperlukan. Wallahu a'lam.
“Duhai Tuhanku, sungguh hamba tak pantas menjadi penghuni surga firdausMu
Namun hamba tak kuat jika harus masuk ke dalam neraka jahimMu
Maka pintaku, berikan aku kesempatan tuk taubat dan kemudian ampunilah aku”.
Lisan yang beristighfar sangatlah penting, hal ini sebagaimana pengakuan dari Rasulullah Saw. yang memberikan contoh kepada umatnya dengan selalu menyempatkan beristghfar kepada Allah pada setiap hari sebanyak seratus ucapan, padahal beliau adalah makshum, manusia yang terlepas dari dosa. “Sesugguhnya aku benar-benar beristghfar kepada Allah seratus kali dalam sehari” (HR. Muslim).
Ketiga, membentengi badan. Anggota badan kita merupakan eksekusi yang menentukan malaikat akan mencatat amal kita sebagai pahala atau dosa. Tangan dikatakan mencuri jika ia telah mengambil curiannya. Mata dikatakan telah bermaksiat jika dibiarkan bebas melihat sesuatu yang dilarang-Nya. Kaki pun dapat bermaksiat jika manusia menggunakanannya melangkah ke tempat yang disana ia akan berbuat dosa. Namun sebaliknya hal-hal tersebut akan dicatat kebaikan jika niat berbuat buruk hanya berhenti dalam hati saja, sedangkan anggota badan terbentengi dengan upaya tidak melakukannya. “Barang siapa berniat berbuat buruk namun ia tidak jadi mengerjakannya, maka Allah menulisnya di sisi-Nya sebagai satu kebaikan sempurna. Dan Barangsiapa berniat berbuat buruk kemudian ia melakukannya, maka Allah menuliskannya sebagai satu kesalahan. (HR. Bukhari dan Muslim).
Keempat, berketetapannya hati untuk tidak kembali mengulang. Suara dalam hati adalah langkah awal, dari hati inilah penyesalan bermula, dan dari hati jugalah visi yang ada di masa mendatang perlu ditetapkan. Karena berbuat salah bahkan berbuat sesuatu yang bernilai dosa adalah sesuatu yang begitu mudah untuk dilakukan manusia, maka ketetapan hati untuk tidak masuk dalam jurang dosa yang sama tentu saja sangat diperlukan. Wallahu a'lam.
0 blogger-facebook:
Post a Comment