Monday 14, Apr 2025

728x90 AdSpace

Baru Dicoret
Friday, 31 January 2014

Cak Gopar Edward Said Dan Orientalisme

Peminat kajian Islam, dunia Timur, dan kebudayaan dapat dipastikan mengenal nama Edward Said (selanjutnya disebut Said). Karena itu, ketika Jumat, tanggal 24 September 2003 tersiar kabar bahwa Said wafat, pasti mereka terkejut. Said berjasa memperkenalkan apa yang disebut orientalisme, yaitu suatu cara untuk memahami dunia Timur, berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia Barat-Eropa. Detailnya, orientalisme menyangkut tiga fenomena yang saling berkelindan. Pertama, seorang orientalis adalah orang yang mengajarkan, menulis tentang, atau meneliti dunia Timur. Mereka mengklaim, bahwa merekalah yang memiliki pengetahuan sehingga mampu memahami dunia Timur. Kedua, orientalisme adalah suatu gaya berpikir yang berdasarkan pada pembedaan ontologis dan epistemologis yang dibuat antara “Timur” (the Orient) dan pada umumnya “Barat” (the Occident). Dan ketiga, orientalisme adalah cara Barat untuk mendominasi, merestrukturisasi, dan mengawasi Timur (Said, 2001: 1- 4). Bertitik tolak dari tiga fenomena inilah tidak salah kalau dikatakan bahwa orientalisme telah berhasil mengkonstruksi Timur sebagai irrasional, eksotik, tidak beradab, mistis dan lainnya. Konstruksi semacam ini dibangun dengan menggunakan standarisasi yang ditetapkan Barat sendiri, tanpa didialogkkan terlebih dahulu dengan Timur. Akibatnya, tidak terhindarkan konstruksi monolitik tentang Timur. Konstruksi monolitik Barat ini berpunggungan dengan realitas yang terdapat di dunia Timur yang heterogen dan berkembang secara dinamis.

Said yang wafat dalam usia 67 tahun itu—karena tidak kuasa menangkal penyakit leukemia yang menggerogoti kesehatan tubuhnya—lahir pada tahun 1935 dari pasangan suami-istri, William A. Said (sebelum menjadi warga negara Amerika Serikat [AS], namanya Wadie Ibrahim) dan Hilda, di Jerussalem Barat, Palestina yang sekarang diklaim sebagai wilayah Israel. Said lahir dan besar di Palestina, namun Said mengenyam pendidikan di AS. Karena semenjak tahun 1947, Said bersama keluarganya meninggalkan Palestina berimigrasi ke AS. Semasa hidupnya, selain sebagai pendidik, sebagai Guru Besar Bahasa Inggris dan Sastra Perbandingan di Columbia University, New York, Said juga penulis produktif. Telah banyak buku yang dihasilkan, namun di antara bukunya yang menjadi masterpiece adalah Orientalisme yang diterbitkan pada tahun 1978. Buku yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia itu menjadi referensi utama bagi para pengkaji Islam, dunia Timur, dan kebudayaan.
***

Sebagai bukti bahwa Barat mengklaim memiliki pengetahuan sehingga mampu memahami Timur, tampak (sebagai contoh) dari pernyataan Arthur James Balfour pada tahun 1910—ketika ia menjadi anggota parlemen Inggris—di Majelis Rendah Inggris yang menjustifiksi perlunya pendudukan Inggris atas Mesir. Balfour menyatakan bahwa Inggris sangat berhak untuk menyelenggarakan pemerintahan di Mesir. Sejarah membuktikan bahwa pemerintahan yang diselenggarakan oleh Inggris lebih baik dari pemerintahan yang diselenggarakan oleh Mesir sendiri. Lebih dari itu, dengan diselenggarakannya pemerintahan di Mesir oleh Inggris yang akan mengambil manfaat bukan hanya Mesir, tapi juga Inggris dan Eropa (Barat) pada umumnya. Dimana, menurut Balfour, Inggris dan Eropa adalah dunia yang beradab.

Balfour dianggap memiliki otoritas untuk mengeluarkan pernyataan seperti ini, karena dalam dirinya berintegrasi dua kekuasaan: kekuasaan pengetahuan dan kekuasaan politik. Balfour memiliki kekuasaan pengetahuan, karena riwayat pendidikannya yang menakjubkan, yaitu menyelesaikan pendidikan di Eton dan Trinity College, Cambridge. Ketika itu, Eton dan Trinity College merupakan lembaga pendidikan yang prestisius dan lulusannya, kelak akan meraih posisi sosial yang strategis, karena pandangan umum mengatakan bahwa mereka memiliki ilmu pengetahuan yang mumpuni. Ada garansi, bahwa jabatan-jabatan sosial yang diduduki alumni Eton dan Trinity College akan meraih target seperti yang ditetapkan. Lebih dari itu, Balfour juga mampu menuangkan pikiran-pikirannya tentang berbagai permasalahan secara sistematis dalam bentuk tulisan. Sehingga pikiran-pikirannya mudah diakses dan dicerna semua lapisan masyarakat.

Balfour memiliki kekuasaan politik, karena jabatan-jabatan politik yang didudukinya merupakan jabatan yang strategis. Sebelum menjadi anggota parlemen, Balfour pernah menjabat sekretaris pribadi Lord Salisbury. Salisbury pernah menjabat sebagai sekretaris utama Skotlandia, perdana menteri, veteran berbagai perang yang dilakukan Inggris. Dan juga dalam perubahan-perubahan yang dilakukan Inggris di wilayah-wilayah kekuasaannya, di luar Inggris, Salisbury memilki peran yang signifikan. Selain itu, Sekitar tahun 1876-an, Balfour mengabdi pada seorang ratu yang kemudian dikenal dengan Maharani India. Khusus dalam pendudukan Inggris atas Mesir, Balfour ditempatkan pada kedudukan yang istimewa. Dengan kekuasaan pengetahuan dan politik yang dimilikinya inilah, tidak terbantahkan kalau nasihat-nasihat Balfour dijadikan rujukan utama Inggris. Balfour memiliki otoritas untuk menjustifikasi dan memberi nasihat terhadap berbagai kebijakan yang diambil Inggris terhadap wilayah yang dikuasainya di luar Inggris.

Terkait dengan otoritas, menurut Said, tidak ada yang misterius dan natural. Karena semuanya dicipta, dipancarkan, dan disebarluaskan; ia bersifat instrumental dan persuasif; punya status, ia menciptakan undang-undang mengenai cita rasa dan nilai. Otoritas yang dicipta Barat digunakan untuk memilah-milah tentang apa yang benar dan tidak benar; siapa yang berhak dan tidak berhak berbicara atas nama Timur. Selain Barat, yang berbicara atas nama Timur (walau Timur sendiri) dianggap tidak benar, karena secara pengetahuan tidak memiliki kompetensi. Otoritas yang dicipta Barat tidak pernah henti dipancarkan dan disebarluaskan. Sehingga akhirnya otoritas yang dicipta Barat itu tidak hanya diinternalisasi oleh Barat, tapi juga diinternalisasi orang-orang Timur yang menjadi “agen” Barat.
***
Bahwa secara ontologis dan epistemologis, Timur berbeda dengan Barat pada umumnya. Said mengatakan, menurut Barat tidak seorang pun yang bisa menulis, berpikir mengenai atau bertindak terhadap dunia Timur tanpa memperhitungkan pembatasan-pembatasan atas pikiran dan tindakan yang digariskan oleh orientalisme (Barat). Orientalisme berhasil menciptakan Timur sebagai obyek pemikiran yang tidak bebas, karena orientalisme secara keseluruhan merupakan jaringan kepentingan-kepentingan yang selalu dikaitkan dengan entitas “dunia Timur” yang kemudian dijadikan pokok pembicaran oleh Barat. Timur dijadikan objek kajian orientalisme, menurut Barat, karena eksistensi Timur memang benar-benar obyektif. Namun setelah ditelisik lebih lanjut, Timur yang diciptakan Barat dan dikatakan bahwa eksistensinya benar-benar obyektif, adalah fiktif dan imajinasi Barat belaka. Realitas Timur yang “sebenarnya” tidaklah seperti yang diciptakan Barat.

Sebagai contoh adalah kategorisasi agama. Di Timur terdapat agama-agama lokal yang mengajarkan untuk menyembah Dewa (Tuhan), tapi bukan Tuhan seperti yang dikonsepsikan agama Islam dan Kristen misalnya. Timur memahami agama-agama lokal itu sebagai “agama”, karena agama dipahami sebagai seperangkat praktik yang diajarkan dari satu generasi ke genersi berikutnya. Hal ini seiring dengan pemahaman terhadap kata agama pada masa pra-Kristen. Agama dipahami berasal dari bahasa Latin, religio. Religio terkait dengan kata relegere yang berarti “melacak kembali” atau “membaca ulang”. Karena itu religio merupakan upaya untuk melacak kembali adat ritual nenek moyang suatu kelompok masyarakat. Pemahaman terhadap agama yang seperti ini dibantah oleh Lactinus, seorang penulis Kristen. Menurutnya, religio berasal dari re-ligare yang berarti mengikat kebersamaan atau berhubungan. Karena itu, religio bermakna tali kesalehan, akad antara Tuhan yang Esa dan benar dengan manusia. Jadi, agama adalah yang mengajarkan untuk menyembah terhadap Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi sehingga disebut religius, sedang yang menyembah tuhan-tuhan lain, bukan agama, tapi pagan yang bertakhayul (Richard King: 2001: 70). Berdasar pengertian agama yang seperti ini, maka agama-agama lokal, tidak dikategorikan sebagai agama, tapi pagan. Digesernya pengertian agama pada masa awal Kristen dimungkinkan karena Kristen bukan merupakan tradisi nenek moyang yang diwariskan secara turun temurun, tapi agama yang diajarkan Nabi Isa.

Orientalisme juga ditegaskan sebagai suatu disiplin akademis, dimana pendekatan yang digunakan dalam mengkaji suatu obyek adalah empirisme dan rasionalisme. Menurut kaum empiris, pengetahuan manusia didapat melalui pengalaman yang konkret. Gejala-gejala alamiah menurut anggapan kaum empiris adalah bersifat konkret dan dapat dinyatakan lewat tanggapan pancaindera manusia. Sedang kaum rasionalis mengatakan bahwa pengetahuan manusia didapat melalui penalaran rasional yang abstrak. (Jujun S. Suriasumatri, 2000: 51). Pendekatan seperti inilah yang digunakan Barat dalam mengkaji Timur.

Sedang Timur dalam memperoleh pengetahuannya, menurut Barat, melalui pendekatan intuisi dan wahyu. Pengetahuan intuisi, didapatkan tanpa melalui penalaran tertentu, tapi melalui pengalaman intuisi orang tertentu, sehingga tidak bisa diramalkan dan pengetahuan yang disusunnya tidak bisa diandalkan. Sedang pengetahuan yang didapat melalui wahyu adalah pengetahuan yang didasarkan kepada kepercayaan akan hal-hal yang gaib (supernatural) (ibid: 53-54). Karena tidak menggunakan pendekatan rasional atau empiris dalam mendapatkan pengetahuannya, maka Barat mengatakan bahwa Timur adalah irrasional. Padahal dalam pendekatan rasional yang digunakan Barat juga terdapat masalah, yaitu mengenai kebenaran dari suatu ide yang dikatakan jelas dan dapat dipercaya. Sebagaimana diketahui, penalaran secara rasional didapat melalui ide yang dianggap jelas dan dapat diterima. Suatu ide bagi satu pihak, bisa jadi sudah dianggap jelas dan dapat diterima, tapi bagi pihak lain belum jelas sehingga tidak dapat diterima. Karena itu pendekatan yang rasional condong solipsistik, yaitu hanya benar dalam kerangka pemikiran tertentu yang berada dalam benak orang yang berpikir tersebut.
Klaim dan kategorisasi yang dibuat Barat tentang Timur ini menunjukkan bahwa Barat ingin memposisikan dirinya sebagai pihak yang merestrukturisasi, mendominasi, dan mengawasi Timur. Dalam rangka menopang dan mengokohkan posisi ini, di universitas-universitas Barat banyak dididirikan lembaga-lembaga atau deparetemen-departemen yang khusus mengkaji peradaban Timur. Di Oxford ada fakultas Oriental dan di Princeton didirikan Department of Oriental Studies. Bahkan pada tahun 1959 pemerintah Inggris memberi wewenang penuh kepada suatu komisi untuk mengkaji perkembangan universitas-universitas di bidang kajian Timur (oriental), Slovonik, Eropa Timur, dan Afrika. Berdasar kajiannya, komisi itu memiliki hak untuk memberi saran dan usulan-usulan kepada pemerintah Inggris untuk pengembangan wilayah kekuasaan Inggris di luar Inggris.

Timur perlu direstrukturisasi, didominasi, dan diawasi karena merupakan “ancaman” bagi Barat. Timur yang merupakan ancaman terhadap Barat, tentu yang diperkenalkan kepada Barat oleh Barat sendiri. Sekedar menyebut contoh, Islam misalnya. Islam dapat dikategorikan Timur, karena Timur bukan hanya sinonim dari Asia Timur secara keseluruhan, tapi juga diasosiasikan kepada Islam dan Dunia Ketiga secara umum. Sejak meninggalnya Nabi Muhammad pada tahun 632, penyebaran Islam gencar dilakukan. Mula-mula ke Persia, Syria, dan Mesir. Berikutnya, pada abad kedelapan, Turki dan Afrika Utara berada di bawah kekuasaan Islam. Pada abad kesembilan, Spanyol, Sisilia dan bagian-bagian dari Prancis juga berada di bawah kekuasaan Islam. Sedang pada abad ketiga belas, Islam melebarkan sayabnya sampai ke India, Indonesia dan Cina. Dalam penyebaran Islam itu terkadang digunakan kekuatatan militer, sehingga menimbulkan tindak kekerasan. Akibat ekspansi Islam, terjadi hegemoni militer, budaya, dan agama Islam terhadap wilayah-wilayah yang dikuasainya.

Penyebaran Islam yang seperti ini, oleh Barat dipahami bahwa Islam telah melambangkan teror, pemusnahan, dan gerombolan orang yang barbar, sehingga patut dibenci. Barat juga menganggap Islam sebagai ancaman yang selalu mengintai dan membahayakan bagi kelestarian seluruh peradaban Barat (baca: Kristen). Pemahaman terhadap Islam yang tidak seutuhnya ini terus disebarkan ke seluruh Barat sehingga menjadi kesadaran yang terpendam. Karena Islam dianggap sebagai ancaman, maka Barat ingin merestrukturisasi, mendominasi, dan mengawasinya agar tidak menjadi ancaman bagi Barat. Segala lini kehidupan dipakai Barat untuk “menjinakkan” Islam. Misalnya melalui pementasan teater, pembacaan puisi, novel, buku-buku ilmiah, atau cerita-cerita populer atau juga peperangan seperti perang Salib. Padahal kalau Islam dipahami dengan seutuhnya diketahui bahwa pada dasarnya Islam merupakan agama rahmatan lin ‘alamin, yaitu menebarkan kedamaian terhadap seluruh alam, tanpa kecuali.

***

Orientalisme yang mengkonstruksi Timur sesuai dengan cita rasa yang digariskan Barat sangat terkait dengan kolonisasi Barat atas Timur. Kolonisasi Barat atas Timur tidak hanya berwujud fisik, yaitu hadirnya militer dan institusi Barat di Timur dan juga bisa berwujud kolonisasi kebudayaan. Yang lebih efektif dan tahan lama adalah kolonisasi yang terakhir, karena kolonisasi melalui kebudayaan yang dikuasai bukan fisiknya, melainkan kesadaran dan cara berpikirnya. Said mengatakan—dalam Kebudayaan dan Kekuasaan (1995: 12-13)—bahwa yang dimaksud kebudayaan adalah: pertama, segala macam praktik, seperti seni penggambaran, komunikasi, dan representasi, yang mempunyai otonomi relatif dari bidang-bidang ekonomi, sosial, dan politik dan yang sering muncul dalam bentuk-bentuk estetis, yaitu yang salah satu tujuan utamanya adalah kesenangan. Masuk dalam kategori kebudayaan seperti ini: kekayaan adat dan pengetahuan mengenai bagian-bagian dunia yang jauh dan pengetahuan khusus yang tersedia dalam disiplin-disiplin ilmu seperti etnografi, historiografi, filologi, sosiologi, dan sejarah kesusastraan. Dan kedua, kebudayaan adalah sebuah konsep yang mencakup suatu unsur penyaring dan pengangkat, gudang terbaik yang dimiliki setiap masyarakat yang telah dikenal dan dipikirkan. Berdasar pengertian yang seperti ini, maka kebudayaan itu meredakan dan sekaligus menetralkan kerusakan-kerusakan eksistensi urban yang modern, agresif, berbau dagang, dan kejam. Tidak terhindarkan bahwa kebudayaan merupakan arena pertarungan kuasa politik dan ideologi.

Lazimnya, dalam sebuah pertarungan kuasa politik dan ideologi ada yang kalah dan ada yang menang. Yang menang akan memuja kebudayaannnya sendiri dan menaklukkan kebudayaan yang kalah. Dalam proses memuja dan menaklukkan itu, akan diciptakan narasi-narasi besar yang timpang, tidak emansipatif, dan membodohkan. Sebagai contoh adalah narasi yang diciptakan Dickens dalam salah satu novelnya, Great Expectation (1861). Setting novel ini adalah Inggris yang mengkoloni Australia. Karena merupakan koloni Inggris, sampai sekarang yang menjadi kepala negara Australia adalah ratu Inggris. Tokoh dalam novel ini bernama Pip. Ketika masih kecil, Pip pernah membantu seorang narapidana, Abel Magwitch yang dipenjara di Inggris, tapi kemudian dipindah ke Australia. Setelah di Australia, Magwitch membayar hutang budinya kepada Pip dalam bentuk uang. Belakangan Magwitch muncul kembali di Inggris. Pip tidak berkenan, karena menurut cerita-cerita yang beredar, Magwitch dilumuri berbagai tindak kejahatan dan persengketaan. Namun akhirnya, Pip menerima kehadiran Magwitch bahkan menganggapnya ayah, walau sesungguhnya Magwitch tidak dapat diterima. Selain sebagai narapidana, Magwitch juga berasal dari Australia yang oleh Inggris dicipta sebagai daerah penampungan narapidana yang sedang menjalani rehabilitasi tetapi bukan repatriasi.

Dari narasi yang dihadirkan novel itu, tampak bagaimana Inggris bercerita tentang Australia. Sebagai sebuah koloni, Inggris mendesain Australia sebagai daerah buangan, yaitu tempat narapidana menjalani hukuman dan rehabilitasi. Walau telah menjalani hukuman dan rehabilitasi di Australia, tidak serta merta narapidana itu boleh kembali dan diterima di Inggris. Citra seorang (bekas) narapidana telah terbentuk; mereka dianggap sering melakukan tindak kejahatan, sehingga tidak pantas menjalani hidup di Inggris yang beradab. Mereka hanya pantas menjalani hidup di Australia yang memang didesain sebagai daerah buangan. Walau narapidana itu sangat terbuka untuk kembali menjadi orang baik, tapi tidak berarti mereka akan kembali menjadi orang baik dalam pengertian yang sebenarnya. Sebagian perjalanan hidupnya, telah dinodai tindak kejahatan. Hukuman yang dijalaninya sebagai tebusan atas kejahatan yang dilakukannya tidak akan menghapus bekas-bekas jejak kejahatan yang dilakukannya.

Contoh lain, bahwa citra Timur adalah merupakan konstruksi Barat, tampak dari karya Conrad, Nostromo (1904). Nostromo memaparkan retorika Amerika dalam menata Timur dan Dunia Ketiga pada umumnya. Melalui tokoh Holroyd, Conrad menunjukkan bahwa semua orang Amerika memiliki perasaan yang sama, yaitu: kita adalah nomor satu, kita diciptakan untuk memimpin, kita mendukung kebebasan, keteraturan dan lainnya. Dari perasaan yang merasuki semua orang Amerika ini tampak adanya kepongahan yang melanda orang Barat. Seakan-akan mereka mengatakan, “Kita (orang Barat) akan menentukan siapa pemduduk pribumi Timur yang baik atau yang jahat. Semua penduduk pribumi Timur mempunyai eksistensi yang memadai berdasarkan pengakuan kita. Kita ciptakan mereka, kita ajarkan pada mereka untuk berbicara dan berpikir, dan ketika mereka memberontak, mereka hanya menegaskan pandangan kita terhadap mereka sebagai anak-anak yang bodoh dan harus dikorbankan.”

Kolonisasi Barat atas Timur adalah untuk menguasai, menundukkan, dan melemahkan sehingga tidak menimbulkan perlawanan. Namun kenyataannya, akibat kolonisasi, di Timur dan Dunia Ketiga pada umumnya tumbuh berbagai gerakan dekolonisasi. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa kolonisasi bisa secara fisik dan juga secara budaya. Karena itu, gerakan dekolonisasi pun bisa secara fisik dengan mengangkat senjata dan juga bisa secara budaya. Gerakan dekolonisasi secara budaya ini untuk mempertahankan budaya dan menegaskan identitas masing-masing, dan dalam politik dibentuk perkumpulan-perkumpulan dan partai-partai politik yang diarahkan untuk mewujudkan kemerdekaan.

Menurut Said, gerakan dekolonisasi secara budaya dimaksudkan: pertama, sebagai desakan untuk mendapatkan hak memandang keseluruhan sejarah komunitas secara koheren dan integral. Yang dimaksud komunitas oleh Said tentu adalah bangsa sebagaimana dimaksudakn oleh Bennedict Anderson. Sejarah komunitas yang diperkenalkan oleh kaum kolonialis adalah dengan mereduksi sejarah komunitas yang sebenarnya. Kedua, perlawanan secara budaya bukan hanya reaksi atas kolonisasi, tapi juga merupakan cara alternatif untuk memahami sejarah manusia, yaitu dengan melakukan rekonsepsi kebudayaan yang didasarkan pada berbagai kebudayaan yang telah dihancurkan oleh kaum kolonialis. Akibat rekonsepsi ini kisah-kisah Barat mengenai dunia Timur dan Dunia Ketiga pada umumnya didekonsruksi dan diganti dengan (gaya) cerita baru yang dikonstruksi oleh dunia Timur dan Dunia Ketiga sendiri. Dan ketiga, sebagai gerakan yang menghindari nasionalisme sparatis, tapi merupakan suatu pandangan yang integral mengenai komunitas, manusia, dan pembebasan manusia. Akibat konstruksi budaya kaum kolonialis, dunia Timur dan Dunia Ketiga pada umumnya tercerai berai; satu komunitas merasa suprior atas komunitas lainnya. Sehingga berbagai perlawanan yang dibangun untuk meruntuhkan kolonialisme mudah dihancurkan.

Dari berbagai perlawanan kebudayan yang dipaparkan di atas, Said menekankan kebangkitan kebudayaan Timur yang genuin, misalnya terlihat dari gagasannya tentang rekonsepsi terhadap kebudayaan Timur. Dalam bukunya Out of Place yang merupakan otobiografinya, Said juga menekankan kebangkitan yang genuin. Said menceritakan “keterasingan” dirinya, karena dikonstruksi oleh orang tuanya. Said berusaha menyingkap dirinya, untuk keluar dari konstruksi orang tuanya (dalam hal ini bapaknya) yang memaksakan segala peraturan kepadanya dan untuk keluar dari kobstruksi Amerika. sebagaimana diketahui, Said lahir dan besar di Arab dengan menjalankan peraturan yang dibebankan kepada dirinya oleh orang tuanya. Sedang pendidikannya dijalani di Amerika.

Dalam melawan kolonialisme Barat, penduduk Timur pribumi kreatif. Mereka tidak hanya menekankan kebangkitan kebuadayaan Timur yang genuin seperti yang dikatakan Said, tapi mereka juga menggunakan, memanipulasi, dan mengkonstruksi respon-respon positifnya untuk menentang kolonialisme dengan memakai konsepsi-konsepsi orientalis. Richard King (Op Cit: 168) dengan mengutip Richard G. Fox menunjukkan cara-cara kaum Sikh pembaru pada tahun 1920-an yang menerima stereotipe Sikh yang digulirkan Orientalis, dan menggunakannya untuk menciptakan gerakan massa untuk menentang kolonialisme Inggris. Terlepas dari kekurangannya, Said telah berhasil menyingkap selubung orientalisme yang hendak menaklukkan dan menguasai Timur.


  • Komentar dengan ID Blogger
  • Komentar dengan Akun Facebook

0 blogger-facebook:

Post a Comment

Item Reviewed: Edward Said Dan Orientalisme Rating: 5 Reviewed By: Cak Gopar