Dulu, waktu Cak Gopar masih kuliah dan
tentunya masih ber-body kurus dan ganteng menawan, setiap kali selesai sarapan
di Warteg Ucup, makan siang di Warsun Ujang dan makan Malam di Rumah Makan
Padang Sabana di samping kampus (Maklum, mahasiswa kaya, gak pernah nge-mie
kayak kamu… iya kamu! wkwkwk), selalu saja mengambil tusuk gigi dengan dua
episode.
Episode pertama, apalagi jika bukan
untuk nyari sisa-sisa daging rendang yang nyangkut di sela-sela gigi Cak Gopar
yang memang renggang, dan kadang juga gak ada yang nyangkut, tapi hanya
kebiasaan saja untuk cari-cari sisa makan di situ wkwkwk.
Episode kedua, Cak Gopar mengambil
beberapa tusuk gigi untuk kemudian disimpan diselipkan di bagian khusus di
dompet yang sudah usang. Perbuatan ini tidak lain, buat jaga-jaga jika nanti makan
di restorant yang tidak menyediakan tusuk gigi atau pas lagi di kosan kemudian
dapat kiriman berkat dari tetangga yang mengadakan tasyakuran, atau bahkan ketika
lagi santai leyeh-leyeh daripada nganggur, tusuk gigi simpanan di dompet akan
berguna untuk membersihkan kotoran hitam yang nyempil di ujung jempol kaki.
Pokoknya, jika persediaan tusuk gigi di dompet sudah menipis, di warung manapun
Cak Gopar makan, maka bak peluru dalam senapan, tusuk gigi akan disimpannya
rapi di dompet. Keyakinannya tetap sama, tusuk gigi tersebut itu pasti akan bermanfaat
kelak.
Bertahun-tahun kegiatan yang
istiqomah Cak Gopar lakukan ini berhenti karena satu kejadian ajaib, ketika Cak
Gopar sowan ke Kiyai Dullah, pengasuh pondok Margi Dhowo yang bertahun-tahun
lalu ia nyantri di pondok itu.
Setibanya di ndalem kiyai
Dullah, remang-remang cak Gopar mendengar suara kiyainya yang sedang membaca
kitab. Cak Gopar pun mendekati asal suara, ternyata di ndalem tersebut
ada beberapa puluh santri sedang duduk bersila memangku kitab kuning sembari
memberi makna pego dari hasil uraian Kiyai Dullah yang duduk di dampar terdepan.
Cak Gopar pun ikut duduk bersila di bagian paling belakang. Beberapa menit
kemudian Cak Gopar tahu bahwa yang sedang dikaji itu adalah kitab Nashaihul
Ibad-nya Syekh Nawawi Banten.
Cak Gopar sendiri sebenarnya sudah
tidak asing dengan kitab ini, di tempat yang sama di ndalem Kiyai Dullah
beberapa tahun yang lalu, Cak Gopar juga mengaji kitab tersebut, bahkan mungkin
sudah 3 kali khatam. Namun entah, dari pembacaan Kiyai Duladi kali ini terasa
beda, tiap kalimatnya mengandung pemahaman hikmah bagi jiwa Cak Gopar.
Tibalah pada keterangan tentang
cerita yang masyhur ketika Hujjatul Islam Imam Ghazali, yang dikisahkan
amal-amal baiknya yang segudang selama di dunia ternyata tak dilirik oleh Sang Maha Kuasa. Untung saja ada amal yang dianggap remeh, ketika dulu di suatu saat Imam Ghazali membiarkan seekor lalat nongkrong di tepi wadah tinta yang ia sedang gunakan untuk menulis. Lalat itu kemudian meneguk tinta karena kehausan. Ternyata amalan
yang dikira remeh ini, “membiarkan dan tidak mengusir lalat yang sedang minum”,
justru menjadi kunci diterimanya amal-amal Imam Ghazali yang lain. Jangan
anggap remeh amal kecil!.
Ketika Kiyai Dullah menjelaskan tema
ini, saat itu juga mata Cak Gopar bertatapan langsung dengan mata kiyai Dullah yang
duduk di depan. Seperti disetir dengan energi mistik tertentu oleh Kiyai, tema kajian
tersebut tiba-tiba membawa ingatan Cak Gopar pada amal-nya ketika di warung;
nyimpen tusuk gigi.
Dengan entah energi mistik yang
bagaimana, Cak Gopar mendadak mendapat pencerahan, bahwa setiap pemilik warung
manapun yang meletakkan tusuk gigi di meja makan warungnya, tidak lain niatnya
adalah HANYA untuk orang yang beli makan di warungnya!!!. Bukan dipake untuk
orang yang makan di warung lain, bukan untuk berkat dari tasayakuran orang
lain, dan tentu bukan untuk membersihkan kotoran di ujung jempol kaki!!!.
Bagaimana perasaan pemilik warteg
atau warsun, jika ternyata tusuk gigi yang selama ini diletakkan di meja
ternyata tidak digunakan semestinya. Iya kalau hanya sekali dan cuma sebatang
tusuk gigi mungkina mereka ikhlas-ikhlas saja. Tapi kalau ada banyak orang yang
modelnya sama dengan Cak Gopar? Dan perbuatan terbut rutin dilakukan?. Apa iya
bisa menjamin keikhlasan pemilik warung.
Remeh memang,,,, tapi bisa jadi di hati
terselubung pemilik warung tersirat sedikit ketidak relaan yang samar.
Namun Gusti Allah Sang Penguasa
setiap hati, tahu betul apa yang tersirat dan tersamar dalam lintasan hati
hamba-Nya!.
Tiba-tiba Cak Gopar gemeteran,
terbayang jika amal-amalnya di dunia yang sedikit ini, tidak diterima Karena sering
“nyuri” tusuk gigi dari warung itu.
Waduh….. tobat Cak!!!
***
“Dan siapa yang mengerjakan amal jelek yang beratnya cuma setitik atom-pun,
sungguh dia akan mendapat balasannya”. (Terjemah bebas
QS. al-Zalzalah 8)
0 blogger-facebook:
Post a Comment