Beberapa hari lalu, ketika saya memberi materi pengajian kitab wasailul
wushul di salah satu masjid di Surabaya, seorang pemuda bertanya keluar
dari topik kajian. Pertanyaannya membuat saya tersedak, “Di medsos sedang
ramai hukum memilih non-muslim sebagai pemimpin, padahal di al-Qur’an sudah
sangat jelas sekali haramnya menjadikan non-muslim sebagai pemimpim. Bagaimana
pendapat ustadz?”.
Saya faham betul pertanyaan semacam ini arahnya ke mana, sehingga
dibutuhkan kehati-hatian dalam menjawabnya.
“Ayat mana yang sampean maksud?” Saya
balik tanya.
Tak lama kemudian dia membuka Smartphonenya, sekitar satu
menit dia kemudian membacakannya
“Ada beberapa ayat ustadz, salah satunya al-Maidah
ayat 51. Di sini dikatakan : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu);
sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa
diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim.”
Kepada mustami’ pengajian, saya meminta agar penjelasan saya
jangan diseret ke tema politik yang saat ini sedang panas, terutama di Jakarta
sana yang sedang hot-hot-nya tema pemimpin non-muslim ini. Karena pemuda
tadi bertanya pendapat saya, Saya pribadi menjelaskan dalam hal ini ikut hasil ijma’
(konsensus) ulama’, tentang tidak bolehnya mengangkat non-muslim sebagai
pemimpin, apalagi di masyarakat yang mayoritas muslim. Selesai!. Saya lihat pemuda
tadi nampak puas, karena sebenarnya ‘pembenaran’ saja yang ia cari, bukan
benar-benar bertanya.
Saya melanjutkan, jika misalnya ada yang menggunakan dalil lain, ya
silahkan saja. Karena hal demikian memang ada, dan kita harus mengakui adanya
dalil tersebut. Klaim kebenaran itu diperlukan untuk diri sendiri, namun jika
dipertentangkan dengan kebenaran yang diyakini pihak lain maka seharusnya
berakhir dengan keakraban, bukan caci maki apalagi saling menuduh kafir.
Karena pemuda tadi menyeret ayat al-Qur’an dan dijadikan sebagai
dalil dalam hal ini, ditambah lagi dia menambahkan dengan ungkapan “di
al-Qur’an sudah sangat jelas sekali”, saya pun ingin mengulas, agar orang awam
seperti kita tidak serta-merta mudah hanya dengan dalil satu dua ayat kemudian
pongah memberi hukum terhadap suatu perkara, apalagi itu hanya berdasarkan
terjemahan saja.
Yang dibaca pemuda tadi itu adalah terjemahan al-Qur’an!. Kita
sangat tidak boleh meng-klaim terjemahan dari Depag misalnya, tentang makna
“Awliya” pada ayat ini sebagai “pemimpin” adalah satu-satnya makna yang benar.
Apalagi ternyata jika kita lihat di terjemahan bahasa lain, artinya akan
berbeda. Dalam bahasa Turki misalnya, pada ayat ini kata “Awliya” sama sekali
tidak bermakna “pemimpin” seperti yang sering kita temui dalam terjamahn
al-Qur’an bahasa Indonesia, di sana diartikan “dostlar” yang berarti “teman”. Dalam
bahasa Inggris juga demikian, ada yang menerjemahkan “friends and protectors”,
“Alliance” dan “Friend”.
Lalu apa arti “awliya” yang sesuai dengan ayat di atas?. Untuk
mengetahuinya, mau tidak mau kita harus menelusuri kitab-kitab tafsir. Dan
membaca tafsir, mau tidak mau kita harus siap dengan perbedaan. Kita tidak
boleh pongah dengan memberi penafsiran sendiri, jika ini terjadi Rasulullah
Saw. mengancamnya dengan “duduk di neraka jahannam”, walaupun tafsiran yang
dikeluarkannya benar pun, jika itu berdasarkan penafsiran pribadi, dikatakan
oleh Nabi Saw. tetap “penafsiran yang salah”.
Dalam terjemah dan tafsir ayat al-Qur’an, banyak ayat yang mungkin
kita secara umum mengetahui maknanya, tetapi jika kita melihat dari tafsir
bil ma’tsur (berdasarkan riwayat) ternyata maknanya sangat jauh dengan apa
yang kita sangka. Misalnya, kita sering mendengar ayat berikut :
“Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebaikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. al-Nahl : 90).
Pada semua
terjemahan yang saya abaca, kata “al-Adlu” dalam ayat ini diterjemahkan dengan “adil”. Jika kita hanya berhenti sampai di sini, kita semua tahu apa
yang dinamakan dengan “adil”. Tapi ingat, ini hanya terjemahan!. Dan memang
benar bahasa arab “al-adlu” itu bermakna “adil”. Tapi tidak selalu demikian
dengan tafsir, dalam al-Qur’an terdapat banyak kata “al-Adlu”, namun
tidak serta merta semua bermakna “adil”.
Misalnya pada
surat al-Nahl ayat 90 di atas, banyak perbedaan penafsiran kata “al-adlu”,
diantaranya bermakna “Syahadah atas La ilaha Illa Allah” (ini
berdasarkan riwayat sahabat Ibn Abbas Rha. Lihat : Tafsir Ibn Katsir, Tafsir
Thabari, Tafsir al-Mawardi, Tafsir ad-Durul Mantsur dan tafsir al-Wajiz), bermakna
“At-Tauhid” (Lihat : Tafsir Jalalain), bermakna “Kesamaan amalan sirri
(tersembunyi) dan nampak untuk Allah” (berdasarkan tafsiran Sufyan bin Uyaynah,
Lihat : Tafsir Ibn Katsir), ada juga yang menafsirkan maknanya adalah “Fardhu”
(lihat tafsir al-Qurthubi) dan banyak tafisr-tafsir lainnya.
Lihat, betapa
hanya kata “al-Adlu” yang di semua terjemahan bermakna “keadilan”, tapi
ternyata tidak demikan dalam literatur tafsir. Belum lagi makna “al-Ihsan”
pada kata berikutnya, yang semua terjemahan al-Qur’an menerjemahkan
“kebaikan”, namun dalam tafsir ada pilihan banyak makna, diantarnya bermakna : an-Nafilah,
ada’u-l Faraidh (melaksanakan kewajiban), sabar dalam ketaatan kepada
Allah, dan makna-makna lainnya.
Oleh sebab itu,
tidak semua ulama yang sepakat atas hukum bolehnya menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa
selain Arab. Bahkan di Indonesia, pernah terjadi problematika terkait penulisan
terjemah al-Qur’an menggunakan huruf latin, pada tahun 1950 ketika Mahmud Yunus hendak menerbitkan Tafsir
al-Qur’an al-Karim dengan bantuan KH. Wahid Hasyim selaku Menteri Agama
saat itu, seorang ulama asal Yogyakarta mengirimkan keberatan kepada Menteri
Agama dan meminta untuk menghentikan proses penerbitan terjemah al-Qur’an ke
bahasa Indonesia tersebut. Ulama lain asal Jatinegara juga mengirimkan
keberatan yang sama kepada Presiden RI saat itu. Setelah tahun 1953, setelah Mahmud
Yunus membalas surat keberatan tersebut, sejak saat itulah, persoalan yang
menyangkut legalitas terjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa non-Arab pada saat
itu dianggap selesai.
Dengan problem seperti yang telah dituliskan di atas, dan juga
adanya masalah-masalah lain yang dapat ditimbulkan, beberapa ulama ahli tafsr
mengharamkan penerjemahan harfiyyah ayat al-Qur’an ke bahasa non-arab,
hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Manna Khalil al-Qattan dalam kitabnya Mabahits
Fi Ulumi-l Qur’an yang terkenal itu. Beliau juga menambahkan, bahwa yang
perlu diingat, terjemahan dari al-Qur’an itu sama sekali bukan Kalamullah.
Berbeda halnya jika penerjemahan al-Qur’an dilakukan dengan
terjemah maknawiyyah. Al-Qattan menjelaskan, bahwa al-Qur’an, mempunyai
makna asli (pokok) dan juga makna sanawi (sekunder). Makna asli disini
adalah makna yang dipahami secara sama oleh setiap orang yang mengetahui
pengertian lafadz secara mufrad (tunggal) dan mengetahui segi-segi
susunannya secara ijmal (global). Sedangkan makna sanawi adalah
karakteristik (keistimewaan) susunan kalimat yang menyebabkan suatu kalimat
berkualitas tinggi. Dan dengan makna sanawi inilah maka al-Qur’an dapat
diketahui sebagai mukjizat.
Al-Qattan menjelaskan, bahwa menurut ijma’ (konsensus) ulama, menerjemahkan
dengan cara menyebutkan makna asli dan kemudian menjelaskan makna sanawi
pada ayat al-Qur’an diperbolehkan. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Imam
Syatibi dalam kitan al-Muwafaqat-nya.
Sebagai orang ajam (non Arab), tentu banyak dari kita yang
tidak memahami bahasa Arab yang notabene adalah bahasa yang digunakan
al-Qur’an. Di sisi lain, sebagai kitab pedoman kehidupan, isi al-Qur’an harus
dapat kita capai. Nah bagi kita yang masuk dalam kategori ini,
selayaknya mempelajari makna al-Qur’an dari terjemah tafsiriyyah.
Terjemah Tafsiriyyah inilah yang banyak dilakukan oleh para ulama.
Sebagaimana kita tahu, para mufassir menulis kitab-kitab tafsir dengan tentu
saja mencari makna terdekat dan terkuat dari setiap ayat dalam al-Qur’an dan
menjelaskan maksudnya agar pembacanya dapat memahami kandungan al-Qur’an. Kemudian
kitab-kitab mereka ini diterjamahkan lagi ke dalam bahasa non-arab, bahasa
Indonesia misalnya, inilah yang dimaksud dengan terjemah Tafsiriyyah.
Yang menurut hemat saya, terjemah inilah yang paling aman untuk dibaca oleh
awam yang memang serius ingin bergelut dalam memahami ayat-ayat suci al-Qur’an.
Wallahu a’lam.
Surabaya, 8 Mei 2016
18.47
0 blogger-facebook:
Post a Comment