Walaupun sebagian ulama ahli Tafsir menolak Tafsir bil Ilmi (melihat al-Qur’an dari kacamata sains), namun beberapa tahun belakangan ini justru tema yang banyak diminati adalah tafsir bil ilmi, lihat saja misalnya tema tentang Big Bang, proses penciptaan manusia dan tema-tema sains lainnya. Alasan terkuat adalah karena dengan tafsir bercorak ilmi ini dapat memperkuat keimanan dengan memahami kebenaran al-Qur’an dengan logis. Sedangkan ulama yang menolak corak tafsir bil ilmi, beralasan karena teori-teori sains itu berubah-rubah berdasarkan penemuan atas fakta-fakta terbaru, sehingga jika ia digunakan sebagai kacamata untuk melihat ayat-ayat al-Qur’an yang sarat sains, dikhawatirkan justru akan mengurangi kesakralan al-Qur’an hanya karena teori sains yang digunakan sebelumnya ikut-ikutan berubah.
Disini Cak Gopar ingin memberikan contoh bagaimana dua Mufassir beda zaman dalam memandang ayat al-Qur’an yang sarat ilmu sains. Pertama adalah Imam Fakhruddin al-Razi dengan tafsirnya “al-Tafsir al-Kabir Mafatih al-Ghaib”, dan yang kedua adalah Syekh Thanthawi, dengan Tafsirnya “al-Jawahir fi tafsir al-Qur’an al-Karim”,
Sebelum masuk kepada penjelasan dua mufassir ini, tentu sangat penting menghadirkan ayat yang dimaksud tentang Isra’-nya Nabi Muhammad Saw. dari Masjidil Haram di kota Mekkah ke Masjidil Aqsha di Palestina.
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Qs. al-Isra : 1).
Imam al-Râzi memberikan porsi besar penafsirannya dengan pendekatan fisika dan kosmologi untuk menjelaskan betapa logisnya perjalanan Isra’ ini. Ini dapat dilihat ketika beliau menjelaskan perbedaan pendapat mengenai bentuk perjalanan Nabi Saw., beliau membaginya menjadi dua hal, yakni : 1) Konfirmasi kebolehan akal (itsbat al-Jawaz al-Aqliy), dan 2) Kenyataan dari peristiwa (al-Wuqu’).
Pada poin pertama, yakni konfirmasi kebolehan akal Imam al-Râzi menjelaskan :
أن الفلك الأعظم يتحرك من أول الليل إلى آخره ما يقرب من نصف الدور وقد ثبت في الهندسة أن نسبة القطر الواحد إلى الدور نسبة الواحد إلى ثلاثة وسبع ، فيلزم أن تكون نسبة نصف القطر إلى نصف الدور نسبة الواحد إلى ثلاثة وسبع وبتقدير أن يقال أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ارتفع من مكة إلى ما فوق الفلك الأعظم فهو لم يتحرك إلا بمقدار نصف القطر فلما حصل في ذلك القدر من الزمان حركة نصف الدور فكان حصول الحركة بمقدار نصف القطر أولى بالإمكان ، فهذا برهان قاطع على أن الارتقاء من مكة إلى ما فوق العرش في مقدار ثلث من الليل أمر ممكن في نفسه
“Bahwa orbit terbesar bergerak dari permulaan sampai akhir malam sekitar setengah lingkaran. Berdasarkan rumus geometri (ilmu ukur) disebutkan bahwa, perbandingan antara satu diameter (garis tengah suatu lingkaran) dengan satu lingkaran tersebut adalah 1:3 1/7 (satu berbanding tiga satu pertujuh). Maka perbandingan jari-jari (setengah diameter) dengan setengah lingkaran adalah juga 1:3 1/7. Adapun ukuran ketika Rasulullah Saw. Isra’ dari Makkah hingga Mi‘râj ke ‘Arsy di atas orbit ini adalah bahwa beliau bergerak hanya setengah diameter (satu jari-jari). Ketika gerakan setengah lingkaran dapat di tempuh dalam ukuran waktu tersebut (pada malam hari), maka gerakan setengah diameter (satu jari) adalah lebih memungkinkan lagi untuk ditempuh dalam ukuran waktu yang sama. Maka ini adalah bukti yang menentukan bahwasanya naiknya dari Mekkah ke atas Arsy pada perkiraan sepertiga malam adalah perkara yang mungkin terjadi pada diri Nabi Muhammad Saw.”
Lihat, betapa Imam Razi menggunakan angka-angka fisikal dalam penjelasannya. Membacanya saja Cak Gopar gak faham sama sekali *hehehe* (maklum bukan anak eksak). Tentu saja karena sifat sains berubah-ubah, mungkin saja jika dilihat dari kacamata sains yang terupdate saat ini akan berbeda.
Berbeda dengan Syekh Thanthawi, walaupun tafsirnya dikenal sarat dengan gambaran-gambaran saintik, ternyata pada penafsiran ayat ini beliau sama sekali tidak menggunakan hitungan-hitungan sebagaimana dalam ilmu exact, namun Syekh Thanthawi memberikan porsi besar dalam penafsirannya dengan menggunakan ilmu jiwa (dalam arti ilmu yang berbicara mengenai hakekat jiwa dan ruh). Misalnya ketika Imam Thanthwai mengatakan:
و اذا كان الانسان قد يرى في المنام الذي لا قيمة له اعمالا تستغرق سنين في ثانية واحدة فما بالك بعالم البرزخ الذي تتجلي فيه صور الحقائق بارزة لمن هم في حال برزخية . و هناك تجلى له ادم و عيسى و ادريس و هارون و موسى و ابراهيم وكان أقرب الناس شبها به
“Jika dalam mimpi saja manusia bisa melihat perkara yang seharusnya memakan waktu bertahun-tahun hanya dalam satu detik saja, maka bagaimana dengan alam barzakh yg akan jelas hakekatnya bagi orang yang mengalaminya. Dan disana akan ditampakkan kepada Rasulullah SAW Nabi Adam, Isa, Idris, Harun, Musa dan Ibrahim, beliau adalah orang paling mirip dengan Rasulullah”.
Dengan dua kacamata ilmu pengetahuan yang berbeda inilah sehingga ketika mereka ikut urun rembug dalam perdebatan sejak zaman sahabat dulu hingga kini tentang apakah Isra’ dan Mi’râj Nabi Saw. ini dilakukan dengan ruh (rohani) saja atau dengan jasad (jasmani), baik Imam al-Razi ataupun Syekh Thanthawi keduanya menjatuhkan pilihan sebagaimana pendapat mayoritas, yakni Isra’ Mi’râj Nabi Saw. terjadi dengan jasad dan ruh, tidak dalam keadaan tidur atau sebagaimana mimpi.
Namun alasan Imam al-Râzi dan Syekh Thanthawi berpendapat demikian tidaklah sama. Masih dalam ‘Konfirmasi kebolehan akal’ (itsbat al-Jawaz al-Aqliy), Imam al-Râzi beralasan bahwa jasad Nabi sangat mungkin sekali mengalami peristiwa Isra’ dan Mi’raj dengan kecepatan yang tinggi. Beliau kembali menjelaskan dengan angka-angka fisikal:
وهو أنه ثبت في الهندسة أن قرص الشمس يساوي كرة الأرض مائة وستين وكذا مرة ثم إنا نشاهد أن طلوع القرص يحصل في زمان لطيف سريع ، وذلك يدل على أن بلوغ الحركة في السرعة إلى الحد المذكور أمر ممكن في نفسه
“Berdasarkan geometri pula bahwa lingkaran matahari sama dengan 160 kali bola bumi. Kemudian kita menyaksikan bahwa terbit matahari berjalan secara cepat. Hal ini menunjukkan bahwa gerakan cepat yang mencapai batas seperti disebutkan adalah sesuatu yang mungkin pada dirinya”.
Sedangkan alasan Syekh Thanthawi berpendapat bahwa isra’ dan mi’raj kanjeng Nabi Saw. itu dilakukan dengan jasad dan ruh hal itu karena bagi Syeh Thanthawi baik yang berpendapat “ruh saja” sebagaimana pendapat Siti Aisyah Rha., ataupun pendapat jumhur “ruh dan jasad” kedua pendapat ini ujungnya sama saja!.
Dalam penjelasannya Syekh Thanthawi membuat dua term yaitu jasad lahiriyyah dan jasad barzakhi (ruh) yang dengan dua term ini, beliau menggabungkan dua pendapat yang tidak kunjung selesai sejak dahulu tentang apakah isra’ mi’raj nabi dengan ruh saja atau jasmani plus ruh juga, beliau menjelaskan:
ومتى قلنا ان الاسراء و المعراج بهذه الحالة البرزخية كانت جميع الاقوال المتناقضة متحدة . فاذا قالت السيدة عائشة انه كان بروحه قلنا صدقت لان هذه الحالة ليست جسمية بحتة . و اذا قال غيرها انه بجسمه قلنا نعم اذ لا فرق عند العلماء الارواح بين الجسم البرزجخي و الجسم المادي . فالجسم البرزخي و يسمى الاثيري وسط بين عالم الارواح الصرف و بين عالم الارواح المادة فمن قال بالروح فقد اقترب من الحقيقة ومن قال بالجسم فقد اقترب منها لانها حال متوسطة و سرعتها أشبه بسرعة المنام و صورتها أشبه بصورة الجسد فهو جسد كالمادة يطير أسرع من البرق بل سرعته كسرعة الخاطر و ترى أحدنا يجلس في حجرته و يكون في الشرق بفكره ثم يكون في الغرب في أسرع من لمح البصر فهذه في فكرنا كالحال المعتادة هناك عملا.
Manakala kita
katakan bahwa Isra’ dan Mi‘râj itu dengan jasad barzakhy maka
pendapat-pendapat yang berseberangan dalam hal
ini akan mengerucut menjadi satu.
(Pertama) Jika
Sayyidah Aisyah berkata bahwa nabi di-Isra’ Mi‘râj-kan dengan ruhnya saja, kita
katakan beliau benar, karena kondisi ini bukanlah jasadiyah (lahiriyah) secara
mutlak. (Kedua) Dan jika selain beliau berkata bahwa nabi di-Isra’ Mi‘râj-kan
dengan jasadnya, kita katakan juga : Ya anda benar, karena menurut ahli ruh
tidak ada perbedaan antara jasad barzakhyah dan jasad lahiriyyah,
karena jasad barzakhyah adalah
jembatan antara alam arwah dan alam lahiriyyah.
Maka
barangsiapa berkata bahwa nabi Isra’'
dengan ruhnya saja berarti dia mendekati hakekat kebenaran, dan
barangsiapa berkata bahwa nabi Isra' dengan jasadnya maka dia juga mendekati
hakekat kebenaran, karena ini (ruh) adalah kondisi pertengahan yang mana
kecepatanya seperti kecepatan mimpi, dan gambarannya menyerupahi gambaran jasad
lahiriyah, ia akan terbang lebih cepat dari pada kilat bahkan kecepatanya
seperti kecepatan lintasan pikiran, bukankah anda melihat bahwa seseorang dalam
kamarnya berada di timur dengan lintasan pikirannya kemudian berpindah ke barat
lebih cepat dari kedipan mata, keadaan ini seperti keadaan yang biasa terjadi
di alam ruh sana.
Berbeda dengan Syekh Thanthawi yang justru membuat sub-bab tersendiri untuk menjelaskan hikmah dan tujuan dari apa yang ditafsirkannya. Ia mengatakan bahwa tujuan dari diturunkannya ayat yang berbicara mengenai Isra’ dan Mi’raj ini bukanlah hanya sebatas untuk dibaca atau hanya untuk mengetahui mengenai keadaan Rasulullah Saw. semata, tetapi agar kita mengikuti syari’at yang dibawa Nabi dan ikhlas untik berdakwah kepada manusia sebagaimana dakwah Nabi Saw. Syekh Thanthawi juga mengatakan dari peristiwa ini seyogyanya kita harus membersihkan jiwa (ruh) kita dapat melihat tanda-tanda kebesaran-Nya yang sebenarnya diperlihatkan kepada kita.
Sudah, itu dulu ringkasan yang dapat Cak Gopar tulis tentang tafsir ayat Isra’ dari kacamata dua tafsir dengan corak sains pada malam peringatan Isra’ Mi’raj ini. Semoga bermanfaat, dan terpenting mari kita jaga hadiah dari Allah Swt. untuk kita yang diberikan pada malam Mi’raj-nya nabi ke Sidratul Muntaha; SHOLAT!
Waalahu a’lam.
0 blogger-facebook:
Post a Comment