Sedangkan Islam mendatangkan apa
saja yang dapat didatangkan ke dalam lingkungan Arab-Islam dari semua unsur
ini, disamping unsur-unsur yang dibawa oleh agama-agama lain yang masuk ke
Jazirah Arab. Agama-agama ini menyampaikan kepada penduduk jazirah ini berita
apa saja, atau cerita keagamaan apa saja yang dapat disampaikan. Dan semua ini
terus terngiang di telinga para pembaca al-Qur’an dan mereka mencoba untuk
memahaminya, sebelum mereka keluar menuju ke sekitar Jazirah mereka baik di
Timur maupun Barat sebagai penakluk.
Walaupun tidak dikisahkan secara
detail, di dalam al-Qur’an sendiri terdapat kisah-kisah yang memiliki titik
temu dengan cerita-cerita tersebut . Sehingga ada dari kalangan sahabat Nabi
dan para tabi’in yang menceritakan kisah-kisah yang berkembang dari tradisi
Yahudi ini dalam menjelaskan pemahaman terhadap al-Qur’an. Inilah yang
dinamakan dengan Israiliyyat dalam Tafsir.
Para sahabat telah menyampaikan
kepada Nabi Saw. mengenai kisah-kisah Israiliyyat yang didengar dari
orang-orang ahli ktab utamanya Yahudi dan sebagian telah berkembang popular di sekitar
mereka. Ada tiga hadis Nabi Saw. yang menjadi dasar boleh tidaknya penggunaan
kisah Israiliyyat.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله
عنه قَالَ
كَانَ أَهْلُ الْكِتَابِ يَقْرَءُونَ التَّوْرَاةَ بِالْعِبْرَانِيَّةِ ،
وَيُفَسِّرُونَهَا بِالْعَرَبِيَّةِ لأَهْلِ الإِسْلاَمِ ، فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لاَ تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلاَ
تُكَذِّبُوهُمْ ، وَقُولُوا (آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ)
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata, “Ahli Kitab membaca Taurat
dengan mengunakan bahasa ‘Ibrani dan menafsirkannya dengan bahasa arab kepada
Umat Islam, maka Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian mempercayai Ahli Kitab dan janganlah kalian mendustai mereka, tetapi katakanlah ‘kami beriman
kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kam” (HR. Bukhari)
Dari hadis diatas, dapat jelas
diketahui bahwa Nabi Saw. menyuruh sikap tawaqquf dari kisah-kisah Israiliyyat
ini, tidak membenarkannya dan tidak mendustakannya. Oleh sebab itu hadis ini
bersifat mujmal sehingga masih membutuhkan perincian lebih jauh
bagaimana mengaplikasikan Israiliyyat.
بلغوا عني ولو آية
وحدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج ومن كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
“Sampaikanlah dariku meskipun hanya satu ayat.
Sampaikan kabar dari Bani Israil, dan tidak perlu merasa berat. Siapa yang
berdusta atas namaku, hendaknya dia siapkan tempat duduknya di neraka.”
(HR. Bukhari)
Dari hadis ini dapat diketahui bahwa
Nabi Saw. mengizinkan untuk meriwayatkan cerita-cerita dari Bani Isaril namun
tetap dengan kewaspadaan dari riwayat-riwayat dusta
yang mengatasnamakan Nabi Saw. Oleh sebab itu, jika dikaitkan dengan hadis
pertama, maka hadis ini juga masih membutuhkan penjelasan yang lebih
terperinci.
عَنْ جَابِرِ
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عُمَرَ
بْنَ الْخَطَّابِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكِتَابٍ
أَصَابَهُ مِنْ بَعْضِ أَهْلِ الْكُتُبِ فَقَرَأَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَضِبَ فَقَالَ أَمُتَهَوِّكُونَ فِيهَا يَا ابْنَ
الْخَطَّابِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ
نَقِيَّةً لَا تَسْأَلُوهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوا
بِهِ أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوا بِهِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ
مُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ
يَتَّبِعَنِي
“Umar Ibnu al-Khaththab memberikan satu buku dari Ahli Kitab, lalu
Nabi membacanya dan marah, serta bersabda, “Apakah kamu kagum dengan buku ini
wahai anak al-Khaththab? Demi Tuhan yang diriku berada dalam genggaman-Nya,
sungguh yang aku berikan kepada kamu (Alquran) yang terang lagi murni.
Janganlah kamu bertanya sesuatupun kepada Ahli Kitab, sehingga mereka
mengabarkan kepada kamu yang benar lalu kamu dustai atau mereka kabarkan yang
batil lalu kamu benarkan. Demi diriku yang berada dalam genggaman-Nya, jika
Nabi Musa as. hidup sekarang, tidak ada pilihan baginya kecuali mengikutiku.” (HR. Ahmad)
Dari hadis di atas, ada semacam
larangan dari Rasulullah Saw. untuk bertanya tentang kisah-kisah dari Ahli
kitab karena adanya kekhawatiran kisah yang benar telah terjadi namun diberi
bumbu-bumbu kedustaan dalam penyampaiannya. Jika itu terjadi, maka akan menjadi
dosa. Oleh sebab itu hadis ini juga membutuhkan penjelasan, terutama dalam
kaitannya dengan dua hadis sebelumnya, apakah mengandung pertentangan atau
tidak.
Dari ketiga hadis diatas, para ahli
tidak sepakat dalam memahami hukum penyampaian kisah Israiliyyat, sehingga
dalam penjelasan para ulama terjadi perbedaan sikap dan penilaian mereka
terhadap Israiliyyat.
Secara umum para ulama membagi tiga hukum mengenai hal ini, pertama, jika kisah itu telah diakui kebenarannya dan mendapat informasi pembenaran dari Nabi Saw. atau tidak bertentangan dengan syariat islam, maka dapat diterima. Kedua, jika telah jelas kebohongannya, tidak sesuai syariat atau tidak masuk akal, maka wajib ditolak. Dan ketiga, jika tidak masuk pada kategori pertama dan kedua, maka sikap tawaqquf adalah sikap yang harus dipilih.
Secara umum para ulama membagi tiga hukum mengenai hal ini, pertama, jika kisah itu telah diakui kebenarannya dan mendapat informasi pembenaran dari Nabi Saw. atau tidak bertentangan dengan syariat islam, maka dapat diterima. Kedua, jika telah jelas kebohongannya, tidak sesuai syariat atau tidak masuk akal, maka wajib ditolak. Dan ketiga, jika tidak masuk pada kategori pertama dan kedua, maka sikap tawaqquf adalah sikap yang harus dipilih.
Namun dalam prakteknya, lagi-lagi
para ulama tidak sepakat dengan kategori seperti di atas, misalkan dalam
menelusuri kesahihan sanad suatu kisah Israiliyyat pasti tidak terlepas dari jarh
wat ta’dil tokoh yang meriwayatkannya. Sebut saja misalnya Ka’ab al-Akhbar,
seorang tabi’in yang sangat banyak menjadi periwayat kisah-kisah Israiliyyat.
Beliau juga adalah seorang tokoh yang walaupun telah memeluk agama Islam, namun
tetap setia membaca dan mempelajari Taurat dan sumber-sumber Ahli Kitab
lainnya. Jika dilihat dari jarh wat ta’dil dia termasuk tokoh yang
kontroversi. Mayoritas ulama ahli sanad menilai bahwa dia adalah tokoh yang ‘adil
dan tsiqoh (kredibel), bahkan Imam Muslim memasukkan hadis dari Ka’ab ke
dalam kitab shahih nya, begitu juga dengan Abu Dawud, Tirmidzi dan
Nasa’i. Ulama-ulama tersebut kita sepakati adalah ulama ahli hadis yang faham
betul tentang kredibilitas seorang periwayat hadis, pun riwayat tersebut berisi
tentang kisah israiliyyat, dan tentu saja kredibilitas yang mereka nilai pada
seorang perawi sesuai dengan standart tertentu. Namun penilian kredibilitas
tersebut, berbeda dengan sebagain ulama belakangan yang menuduh bahwa Ka’ab
adalah seorang pendusta dan tidak dapat diterima riwayatnya, hal ini disampaikan
misalnya oleh Ahmad Amin dan Rasyid Ridho.
Selain perdebatan ke-tsiqah-an
para periwayat, banyak ulama belakangan juga seringkali mengkritik tafsir yang
terlalu banyak menyajikan kisah israiliyyat, bahkan secara ekstrim mengatakan
israiliyyat yang diceritakan oleh para ulama dalam kajian al-Qur’an sangat
keluar konteks dari kajian itu sendiri. Pandangan negatif seperti ini adalah
bentuk kekhawatiran tidak terbacanya intan dan mutiara yang terkandung dalam
al-Qur’an karena tertutupi oleh kisah-kisah Israiliyyat tersebut. Lebih dari
itu, bahkan ada kekhawatiran yang sangat berlebihan, misalnya seperti yang
disampaikan oleh Abu Zahra bahwa Israiliyyat harus dibuang karena tidak berguna
dalam memahami al-Qur’an. Israiliyyat dalam tafsir belakangan juga sering
dituduh menurunkan derajat al-Qur’an karena bercampurnya yang hak dan yang
batil, yang benar dan yang bohong, serta yang ilmiah dan yang dongeng semata.
Kenyataan seperti ini mereka khawatirkan dapat membahayakan Islam sendiri,
terlebih pada zaman serba modern ini yang membutuhkan dakwah Islam yang baik.
Di lain pihak ada ulama yang membela
adanya kisah Israiliyyat dalam konteks tafsir al-Qur’an, misalnya seperti yang dijelaskan
oleh al-Qosimi dalam Mahasinutta’wil-nya bahwa Syekh Burhanuddin
al-Biqa’i ad-Dimasyki memperbolehkan menggunakan ayat-ayat dalam kitab suci
Ahli Kitab, yakni Taurat dan Injil, apabila hal tersebut ada konfirmasinya
dalam al-Qur’an. Jika konfirmasi dari al-Qur’an pun tidak tersedia, al-Biqa’i
tetap mempersilahkan penggunaan kisah-kisah tersebut dengan alasan adanya hadis
pertama dan kedua seperti yang dijelaskan di atas. Ia juga menyatakan, bahwa
inilah yang telah dilakukan oleh para sahabat pada masa lalu. Argumentasi yang
digunakan al-Biqa’i dalam hal ini adalah ayat :
قُلْ فَأْتُوا
بِالتَّوْراةِ فَاتْلُوها إِنْ كُنْتُمْ صادِقِينَ [آل عمران: 93]
Katakanlah: Maka bawalah
Taurat itu, lalu bacalah Dia jika kamu orang-orang yang benar".
وَأَنْزَلْنا
إِلَيْكَ الْكِتابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقاً لِما بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتابِ
وَمُهَيْمِناًعليه [المائدة: 48]
dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya)
dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu.
Jadi, maukah anda menggunakan
kisah-kisah israiliyyat yang sering digunakan oleh para ulama tempoe doeloe namun
banyak dipandang negatif oleh para ulama belakangan?.
Wallahu a’lam.
0 blogger-facebook:
Post a Comment