Monday 7, Apr 2025

728x90 AdSpace

Baru Dicoret
Thursday, 25 September 2014

Cak Gopar Bab 4 ; Menyelam dalam pekat hitam. Kesunyian menjadi saksi

Bab sebelumnya Klik DISINI

Dua tahun kemudian.

Pinggir bantaran sungai Ciliwung.  19.30 WIB.

Langit sangat gelap. Dewi bulan berdandan dengan sangat cantik mempesona, bulat utuh dengan warna kuning yang cenderung putih, purnama. Cahaya itu didapatinya dari sisa-sisa sinar Raja Matahari yang menyinari bumi di bagian lain jauh disana, jauh di depan sang Dewi bulan.

Namun mungkin bagi sang dewi dan raja matahari -dengan ukurannya yang sebesar itu- itu bukanlah jarak yang jauh. Entah, kebetulan atau mungkin malu dengan sinar terang sang dewi di malam itu, bintang-gemintang seakan tak berani mengintip bumi dari langit yang cerah itu, ya, tak satu bintang pun nampak. Dan langit malam tetap damai.

Begitu juga dengan Bumi, dewi bulan menyinarinya seakan membawa suasana langit yang sedang damai. Tapi tidak semua orang merasakan kedamaian itu. Suara tangis bayi menjerit dengan lantang memecah kedamaian malam itu. Rangga Muhammad Surur adalah bayi yang kini menangis itu. Bayi yang sangat tampan. Kulitnya putih dengan rambut ikal lembut yang masih tumbuh tipis diatas kepalanya. Sang ibu, Maimunah, tidak henti-hentinya mecoba menenangkan dalam gendongannya. Namun Rangga tetap berteriak, menangis menjerit tak henti-henti. Ibunya bingung, sakitkah anaknya itu?. Beberapa hari terakhir ini anaknya sering menangis. Maimunah yang tentunya sangat khawatir sempat membawanya ke dokter kemarin, beruntung kata dokter anak kandung satu-satunya itu tidak ada gejala sakit. Tapi mengapa Rangga selalu menangis. Apakah ia juga turut merasakan beban ibunya.

“Kenapa kamu naaa..a..kk?” suara Maimunah bergetar. Pelukannya ia goyang-goyang mencoba untuk menenangkan anaknya.

Rangga tak juga diam. Tangisnya semakin merobek malam. Dan pada titik lelah atas kebingungannya itulah, butiran permata jatuh dari ujung kedua mata Maimunah. Ia tatap wajah bulat yang sedang menangis itu.

“Rangga sayang!” ucapnya lirih. Ciuman kasih sayang ia kecupkan ke atas dahi anaknya itu.

Maimunah sangat bingung menghadapi anaknya -lebih tepatnya- bingung menghadapi nasib hidup merek berdua, awalnya ia mengira bahwa kehidupannya di masa kecil dulu adalah ujian terberatnya. Ternyata tidak, kehidupannya kali ini jelas lebih berat. Bukan tangis anaknya itu yang membuat beban hidupnya terasa berat, tapi ayah anak itu. Ya, ayahnya telah pergi sembilan bulan sebelum kelahiran anak mereka berdua, pergi entah ke mana. Tidak hanya itu yang membuat beban teras lebih berat, tapi kesadaran bahwa anaknya lahir dengan ayah yang tidak dalam ikatan pernikahan dengan ibunya, anaknya adalah hasil dari perkosaan. Oh Bukan, bukan perkosaan, karena Maimunah melakukannya dengan orang yang disayanginya, tanpa memberontak. Ya, ia melakukannya dengan Pujangga.

Hah?. Apa?. Pujangga melakukannya dengan Maimunah?. Kakak-adik itu melakukannya tanpa ikatan nikah?.

Ya. Kenyataan seperti itulah yang kini menyelimuti mereka. Ceritanya….

Satu tahun yang lalu. Malam itu adalah malam seperti biasa. Maimunah baru saja melepaskan lelah setelah pulang dari kerjanya. Namun malam itu tidak seperti biasa bagi Maimunah yang teringat Pujangga. Sebelum pergi, Pujangga menitipkan kunci kamarnya kepada Maimunah karena beberapa hari ia akan bekerja dan tidak pulang. Sudah seminggu ia tidak bersua dengan kakaknya itu. Kesamaan nasib yang membuat mereka dekat tentu saja membuat hati Maimunah rindu dengannya, bukan seperti kerinduan sepasang kekasih, tetapi kerinduan kakak—adik. Hanya ingatan kepada Pujangga yang mengisi hari-harinya. Lama ia menanti kedatangannya, tapi ia tahu pasti bahwa yang ditunggunya sedang bekerja, sedang menjadi kuli bangunan entah di mana. Waktu kepulangannya pun menjadi tak pasti. Lama Maimunah mengingatnya, kangen. Kemudian ia keluar dari kamar kosnya dan masuk ke kamar kos kakaknya. Melihat kamar kakaknya yang agak berantakan itu ia pun langsung membersihkan dan menata ulang. Debu-debu ia bersihkan. Walaupun rasa lelah jelas sekali ia rasakan setelah kerja seharian sebagai cleaning service, tapi entah mengapa ia bahagia sekali ketika berkesempatan membersihkan tempat tinggal kakaknya itu, rasa lelah seakan sirna seketika.

Ketika ia rasa semua sudut kamar telah ia bersihkan, ia pun duduk di kursi satu-satunya yang ada di ruang kecil ukuran 3x3 itu. Disampingnya, diatas sebuah meja kecil, terpampang sebuah bingkai foto yang dengan cepat Maimunah ketahui siapa saja di foto itu walaupun ia tidak mengenal mereka –kecuali Pujangga tentunya. Maimunah mengangkat dan memperhatikan foto yang terbingkai indah itu. Nampak disana Pujangga yang masih remaja mengenakan baju koko berpeci putih, sangat tampan. Ada juga adiknya, Chandradimuka yang nampak sangat lucu dengan peci yang agak kebesaran. Ditengah mereka berdua, ada Abah dan Ummi. Senyum Ummi terurai dengan sangat cantik, senyum itu menggambarkan sifat keibuan yang sangat mulia. Abah menggunakan pakaian serba putih dengan surban merah yang melingkar diatas kepala. Wajahnya nampak sangat tegang. Ini memang disengaja oleh Abah, tapi bukan karena ingin agar nampak sangar. Tapi karena bagi Abah, foto adalah sesuatu yang sangat mewah, sangat luar biasa. Oleh sebab itu bila mau diambil fotonya, Abah sangat mempersiapkannya dengan serius. Dan difoto dengan wajah tegang –yang bagi Abah adalah wajah yang menggambarkan ‘siap’- itulah salah satu keseriusan Abah.

Maimunah tersenyum melihat foto dalam bingkai itu.

“Mas Pujangga, mengapa keluarga sebahagia ini rela kamu tinggalkan” ujar Maimunah pada dirinya sendiri.

Air mata Maimunah menetes, menetes tepat diatas bingkai foto yang masih dipegangnya. Ia teringat dengan masa kecilnya, teringat keluarga yang telah meninggalkannya sendiri. Tidak lama kemudian, ia usap pipi putihnya yang dialiri bening air mata. Ia tak ingin terpuruk dalam kesedihan lebih lama. Bingkai foto itu ia letakkan di tempatnya semula. Sebuah sajadah putih terlipat rapi tak jauh dari bingkai foto itu. Pujangga memang sudah tidak pernah mendirikan shalat sejak ia terpuruk dan ‘marah’ pada tuhan. Sampai akhirnya ia bertemu dengan Maimunah, yang kepadanya ia berjanji untuk sedikit demi sedikit berubah. Atas janjinya itulah Maimunah pernah memberikan sajadah itu kepada Pujangga, sajadah yang kini masih tergeletak rapi. Sajadah putih dengan gambar masjid bergaris-garis hitam. Maimunah sempat beberapa kali melihat Pujangga mendirikan shalat diatas sajadah itu, tapi sangat jarang. Lebih baik dari pada tidak pernah. Sedikit demi sedikit ia akan berubah. Begitu janjinya pada Maimunah.

Di kamar Pujangga yang sudah bersih itu Maimunah mendirikan shalat, shalat tahajjud yang seperti biasa ia lakukan, dan kali ini ia dirikan di atas sajadah pemberiannya yang jarang terpakai itu. Harapnya, semoga dengan mendirikan shalat di kamar Pujangga itu akan menerangkan hati penghuninya, Pujangga kakaknya itu. Bukankah manusia termulia junjungan Maimunah, yakni nabi Muhammad pernah bersabda : terangilah rumah kalian dengan sholat dan bacaan al-Qur’an.

Gerakan demi gerakan shalat ia lakukan dengan tenang. Bacaan-bacaan dalam shalat ia lafalkan dalam hati, menenangkan hati. Ia memalingkan kepala ke kanan dan kiri sambil diiringi bacaan salam, dzikir-dzikir membasahi bibir merahnya. Doa-doa tulus dari hati meluncur keluar dari bibirnya, mengadu pada Allah, memohon kesabaran atas ujian-Nya, air matanya yang selalu mengalir pada setiap shalat malamnya kini mengaliri pipinya. Ia akhiri semuanya dengan usapan dua telapak tangannya ke wajah. Selesai sudah. Masih duduk diatas sajadah itu, mukena yang ia kenakan ia lipat rapi.  Tak lama kemudian tangannya menutup mulutnya yang seakan mengingatkannya untuk isirahat, ia menguap. Matanya merah tak kuasa menahan kantuk. Ia rebahkan tubuhnya diatas sajadah. Sangat lelah. Sebelum memejamkan mata ia sempat melihat bingkai yang ia lihat tadi di atas meja. Ia tersenyum dan memaksa tangannya untuk menggapai bingkai foto itu. Ia perhatikan kembali foto itu, menatap pemuda yang ada di foto itu, Pujangga. Senyum Maimunah terurai. Dan tak lama, matanya terpejam, ia tertidur, dan bingkai foto tergeletak di lantai dalam genggaman tangannya. Terlalu lelah  –lebih tepatnya terlalu malas- ia untuk mengembalikan bingkai itu ke tempatnya semula.

Seringkali Tuhan tidak memberikan yang kita inginkan, melainkan yang kita butuhkan. Karena apa yang kita anggap baik ada kalanya ternyata tidak baik, begitu juga sebaliknya, apa yang kita tidak inginkan terkadang justru itu yang dikehendaki-Nya untuk kebaikan kita. Sekali lagi. Sungguh itu semua untuk kebaikan kita semata. Hanya Dia yang tahu.

Begitu juga dengan Maimunah dengan harapan-harapan dalam setiap doanya tadi. Tuhan akan memberikan apa yang baik baginya atas ujian-ujian yang diberikan-Nya. Dan sungguh kita terlalu lemah untuk menolak takdir yang telah ditetapkan-Nya. Kita tidak tahu sampai kapan Dia akan menguji kita. Bahkan ujian-Nya –yang terkadang tidak kita sukai itu- terjadi justru setelah kita bersujud dan berdoa kepada-Nya. Apa daya kita.

Maimunah yang tidur tenang diatas sejadah tempat ia sujud kepada-Nya tiba-tiba terbangun perlahan. Sesosok tubuh duduk menatapnya dengan pandangan menelanjangi. Dengan mata menahan silau lampu karena terpejam cukup lama, Maimunah serta-merta kaget melihat sosok itu. Dan ketika ia sadar bahwa yang duduk menatapnya itu adalah Pujangga ia pun agak lega. Namun kenapa kakaknya itu memandangnya seperti itu. Suasana yang aneh mengitari mereka berdua.

“Mas Pujangga” sapa Maimunah pelan. “Sudah selesai kerjamu?.”

Tak ada jawaban beberapa detik. Mata Pujangga merah menatap Maimunah.

“Aku benci kamu. Dasar pelacur!” ucap Pujangga tiba-tiba.

Maimunah yang masih terbaring itu langsung mendudukan tubuhnya, ia kaget, kini ia tepat di depan Pujangga. Sangat kaget. Kesadarannya itu segera mencium aroma alkohol dari tubuh kakaknya. Ya, Pujangga sangat mabuk.

“Mas…!” ucap maimunah mencoba menyadarkan Pujangga, atau ia mencoba menyadarkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi pada kakaknya itu.

“Aku benci kamu bu Dinda”

Kalimat itu sederhana tapi menjelaskan apa yang terjadi pada Pujangga. Aroma alkohol tercium lebih menyengat.

“Sadar mas!. Mas…!. Ada apa mas?.”

“Kenapa kamu merusak hidupku….?” tanya Pujangga tak sadar. “Kenapa kamu merusak hidupku bu Dinda…?!. Apa salahku?!”

“Sadar mas!. Ini Maimunah. Adikmu!.” Ada getar takut pada suara Maimunah.

Pujangga diam memandangnya dengan tatapan yang penuh marah. Rupanya ia tak sadar bahwa didepannya itu adalah Maimunah adiknya, bukan bu Dinda.

Sudah lama Pujangga tak menyentuh minuman memabukkan. Dan ketika ia kembali terpuruk dan kembali menyentuh minuman itu jelas saja membuatnya cepat mabuk. Sangat mabuk. Ia bertingkah tidak masuk akal. Apalagi ketika melihat sosok bu Dinda ada pada wajah Maimunah. Ya. Sejak kejadian tadi siang, ketika kemarahannya yang telah lama terpendam kini menyeruak lebih dahsyat setelah bertemu dengan orang yang dibencinya, bu Dinda, yang ia tuduh sebagai tak ubahnya seorang pelacur itu.

“Pelacur kamu!” ucapnya tegas dalam ketidakwarasan.

Ulu hati Maimunah sangat perih tertusuk sebuah rasa. Bagaimana mungkin kakaknya, orang yang disayanginya, yang janji menjaganya itu kini ada di depannya dan menghinanya dengan ucapan yang sangat menusuk itu.

“Kamu mabuk mas?” tanyanya. Sebenarnya itu bukanlah pertanyaan yang penting, karena Maimunah pun sebenarnya sudah tahu dengan melihat keadaan Pujangga yang seperti itu jelaslah ia mabuk.

“Apakah kamu tidak tahu balas budi. Jangan sok suci. Semua laki-laki suka melakukannya.Ada suara yang tiba-tiba terulang di kepala Pujangga. Ucapan bu Dinda siang tadi.

“Jadi itu yang kamu inginkan dariku” ucapnya. Kalimat Pujangga yang merespon suara di kepalanya itu.

“Melayanimu bu Dinda?.” Lanjutnya dengan nada getir.

Kedua tangan Pujangga bergerak ke dadanya. Ia membuka kancing demi kancing bajunya sendiri. Ia lepas bajunya yang bau antah-berantah alkohol itu.

“Mas!” ucap Maimunah dengan suara bergetar tahu akan apa yang akan dilakukan kakaknya itu. “Ini aku adikmu mas. Maimunah!.”

Dan akhirnya terjadilah apa yang pasti tidak diinginkan oleh mereka berdua. Entah apakah itu bisa disebut perkosaan. Maimunah hanya bisa menangis ketika Pujangga melakukan perbuatan laknat kepada dirinya, kepada orang yang ia janjikan kan dijaganya. Iblis yang sudah lama berhasil menjerumuskan Pujangga kini tertawa terbahak. Bulir-bulir air mata Maimunah deras berjatuhan. Ia tidak memberontak, tidak berteriak. Ia tak ingin terjadi apa-apa pada orang yang disayanginya itu bila ia berteriak dan membangunkan orang-orang. Salahkah ia yang hanya menangis? Yang tidak berontak demi orang yang disayanginya itu?. Entah. Hanya perih, pahit, marah atau entahlah apa nama rasa yang kini terus menusuk hati Maimunah. Menusuk dengan sangat dalam membekas.

Sungguh masih ada rasa perih dalam hati Pujangga. Tapi apa yang bisa ia lakukan ketika ia tak sadar dangan apa yang dilakukannya itu. Dalam ketidaksadarannya itu, ia hanya melihat wajah bu Dinda. Ya. Pujangga melakukannya sebagai bentuk balas dendam kepada bu Dinda, balas dendam dengan cara melayani apa yang diinginkan bu Dinda. Melayani orang yang justru ia benci. Itulah logika orang yang marah, orang yang mabuk. Ia tidak sadar bahwa tubuh yang ia lihat sebagai bu Dinda itu adalah tubuh adiknya, Maimunah.
Kejadian itu berjalan cepat memang. Namun tidak bagi Maimunah yang kini duduk membungkuk menangis di salah satu sudut kamar tempat perbuatan laknat itu terjadi. Ia menangis dengan suara pilu tertahan-tahan dalam. Tangisan yang orang akan faham beban seberat apa yang dialaminya bila mendengarnya. Pakaiannya acak-acakan. Merana. Ia menangis tak berhenti. Ia lihat sosok tubuh yang kini tertidur pulas diatas lantai, di atas sajadah putih di depannya itu. Tubuh yang seharusnya mengusir semua kesedihan yang dialami Maimunah. Yang seharusnya mengusap sungai bening yang mengalir di pipi Maimunah. Ah. Ulu hati Maimunah tertusuk lebih perih rasanya ketika sadar bahwa tubuh yang kini tertidur itulah yang justru merusak dirinya. Ah, bercak merah di atas sajadah itu apa?. Tangisannya makin terdengar pilu ketika bayangan-bayangan semalam yang terjadi padanya terlintas dalam kepalanya.

Maimunah hanya bisa duduk menutup wajahnya diatas kedua lutut kakinya. Hanya duduk dan menangis.



Malam tergantikan dengan pagi yang mengutus matahari untuk bersinar lembut. Jendela kamar kos pujangga yang masih tertutup gorden putih tipis itu tertembus dengan sinar matahari pagi. Sinarnya lembut menerangi tepat di atas wajah Pujangga, seakan mencoba menyilaukan mata Pujangga yang masih terpejam itu agar segera terbuka. Pelan-pelan matanya terbuka. Silau. Badannya terasa berat. Sangat berat. Kepalanya juga pusing. Sangat pusing. Tubuhnya masih ia biarkan terbaring di atas lantai. Oksigen yang ia hirup di pagi cerah itu mengirimkan sinyal segar ke dalam otaknya menggugah agar cepat sadar. Pujangga mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi padanya semalam. Tapi otaknya masih terlalu lelah. Sayup-sayup matanya memandang sudut jendela di depannya, oh itu jendela kamarnya. Pujangga merasa aneh bagaimana ia berada di kamarnya itu. Ia terus mengingat-ingat. Matanya tertuju pada bingkai foto yang tergeletak di lantai dekat dengan tubuhnya. Bingkai itu terbalik menghadap lantai.

“Bingkai itu….?” ucapnya dalam hati.

Tangan kanannya bergerak mencoba meraihnya. Pelan. Terasa berat. Ia balik bingkai itu melihat foto keluarganya. Foto Abah, Ummi, dirinya dan chandradimuka.

Sebuah rasa sesaat terlintas dalam hatinya.

“Kenapa foto ini tergeletak di lantai?” tanya hatinya kemudian.

Tak lama ia meletakkan kembali bingkai itu di atas lantai. Tangannya yang lemah dan terasa berat itu tak kuasa mengangkatnya terlalu lama. Tapi?, lihat.

“Kenapa aku ada di kamar ini?. Di atas sajadah ini?. Dan….., dan bercak apa itu?”

Matanya tertuju pada satu titik merah. Suara detik jam di dinding berputar dengan detak jelas. Tak lama kemudian, bayangan Maimunah berkelebat di ingatannya. Apa yang telah terjadi semalam.

“Maimunah!” ucapnya dalam hati. Otaknya kini bekerja mulai membaik, mengembalikannya pada ingatan semalam. Tiba-tiba saja bayangan-bayangan perbuatan tak senonoh berkelebat di kepalanya. Berpacu cepat.

“Tidak mungkin” ucapnya pada diri sendiri, menolak kenyataan yang baru saja terjadi padanya. Tapi semakin ia ingin menolak dan tidak mempercayai ingatan itu, maka semakin deraslah bayangan-bayangan itu berkelebat mengingatkan. Dadanya terasa dihantam palu bertubi-tubi. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba saja ia mendengar suara tangis sedu-sedan tertahan-tahan tak jauh darinya. Kekhawatirannya makin menohok. Ia reflek bangun dari lantai, dari sajadah ternoda bercak itu. Reflek hatinya menjerit.

“Maimunah!” ucapnya parau sangat lirih bergetar.

Suara tangis sedu-sedan itu makin jelas. Pujangga yang masih duduk itu memutar tubuhnya ke arah sumber suara tangis, suara dari sosok yang kini duduk di sudut kamar sambil menutup wajahnya diatas kedua lutut.

“Ya Allah……!” tiba-tiba saja lafal yang lama tak keluar di bibir Pujangga itu meluncur fasih. Suara yang sangat berat bergetar. Pujangga kini makin yakin dengan ingatan yang baru saja ia tolak itu bahwa yang baru saja ia takutkan itu memang benar-benar terjadi. Bukan mimpi.

Pujangga tertunduk. Malu dan kecewa menyerangnya. Ia tak pernah merasa malu seperti ini, bahkan dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan bu Dinda dulu kepada dirinya. Sangat marah.  Ia tak pernah merasa marah seperti kali ini, bahkan dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan bu Dinda dulu kepada dirinya. Ia merasa jijik pada dirinya sendiri. Sekotor itukah dia sehingga tega melakukannya dengan Maimunah. Adiknya.

Melihat sosok tubuh yang duduk membenamkan wajah di sudut kamarnya itu tentu jelas menjawab semuanya. Menjawab atas pertanyaan dalam dirinya sendiri bahwa ia adalah orang yang paling bejat. Sangat bejat. Sangat keji. Sangat durhaka. Ia sangat membenci dirinya sendiri. Ia tak pernah merasa benci pada diri sendiri seperti ini, bahkan dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan bu Dinda dulu kepada dirinya.

Dan waktu seakan berhenti. Kesunyian menjadi saksi.


*   *   *

 Bekasi.  19.55 WIB.

Marah dan sedih adalah sesuatu yang dekat. Benci dan muak juga sesuatu yang dekat. Dan kini semua rasa yang memuakkan itu teraduk-aduk dalam jiwa Pujangga. Hatinya selalu mengumpat. Selalu mengutuk banyak hal pada dirinya. Dia bukanlah buron. Tapi pelarian sangat akrab dengannya. Lari dari kenyataan hidup. Kebencian juga sangat setia menemaninya. Benci terhadap diri sendiri, bahkan benci pada tuhan. Apalagi kesedihan. Rasa itu terlalu sering menyelimutimya. Dan alasan jiwanya yang selalu dipenuhi rasa-rasa itulah kini Pujangga mengulangi hal yang sama seperti dulu. Lari dari kenyataan. Maimunah ia tinggalkan sendiri disana. Di ‘perumahan’ kumuh pinggiran sungai ciliwung. Ia tinggalkan berteman dengan beban baru yang dia ciptakan. Ia tidak mau mempercayai dengan apa yang telah ia lakukan. Pergi. Pergi adalah satu-satunya jalan yang ia inginkan. Hari yang paling ia sesalkan dalam hidupnya adalah hari terakhir bersama Maimunah di saat itu. Maimunah tidak akan mengisi hari-harinya. Pujangga sangat ingat sekali akan langkah kakinya pergi dari kamar kosnya di hari itu. Ia biarkan Maimunah tetap terduduk lesu di sudut kamarnya. Ia tinggalkan tanpa ucapan selamat tinggal. Hanya suara sedu-sedan Maimunah yang mengiringi langkah kaki Pujangga di saat itu. Hati Pujangga terlalu lelah mengutuk diri sendiri. Berat.

Apa yang bisa dilakukan Pujangga kini?. Semuanya telah hilang. Dengan datangnya Maimunah dulu ia masih mempunyai harapan walau keterpurukan jiwa selalu menekannya. Tapi kini, apa yang bisa ia lakukan. Harapan sepertinya sudah enggan untuk singgah pada dirinya. Atau sebaliknya Pujangga yang tak kan rela menerima harapan-harapan lain karena bila ia tidak berhasil menggapainya maka jatuhnya akan terasa lebih pahit. Pahit kehidupannya memang telah membuatnya lebih kuat bertahan dalam banyak hal. Tapi ini berbeda. Semua harapan itu sepertinya sudah menjadi hitam karena Pujangga telah meninggalkan cinta. Ya. Kasih sayang Maimunah yang dulu menjadi harapan terbesar baginya untuk kembali bangkit justru ia tinggalkan. Tidak sekedar ia tinggalkan, tapi ia telah merusaknya. Kasih sayang itu telah rusak. Rusaklah harapan yang diinginkan Pujangga.

Pujangga hanya diam menerawang. Entah kenapa jantungnya berdetak lebih kencang seharian ini. Kini ia menatap jarum detik jam dinding yang setia berputar itu. Ada sesuatu yang aneh yang ia rasakan. Hatinya tiba-tiba saja cemas. Tapi entah apa itu. Di kamar kos barunya ini kini ia lebih sering diam. Diam melamun. Maimunah lah yang sering ia pikirkan dalam diamnya itu. Tapi kini ia telah jauh pergi meninggalkannya. Sangat jauh. Badannya kurus. Matanya cekung ke dalam. Urat-urat di tangannya mulai tampak menonjol. Kumis dan brewok juga sudah tumbuh lagi di wajahnya. Nyaris wajah itu tertutup bulu-bulu. Rambutnya masih saja panjang. Gondrong. Setiap ia menatap wajahnya di cermin dan melihat rambut awut-awutannya itu ia selalu teringat Maimunah. Ia teringat janjinya bahwa Maimunah lah yang akan memotong dengan tangannya sendiri. Tapi kini harapan itu seakan musnah. Pujangga ingin sekali membiarkan air mata menetes deras dari matanya. Tapi entah kenapa air mata itu seakan kering tak mampu keluar. Cukup hatinya yang menangis. Menangisi segalanya yang telah berubah pada dirinya.

Jam dinding yang ia tatap berbunyi sebelas kali. Seekor cicak lari terkaget keluar dari belakang jam dinding itu. Pujangga hanya bisa menatapnya. Jiwanya terlalu lelah. Sementara itu, jauh berkilo-kilo meter darinya kini Rangga –anaknya- masih tetap menangis. Entah apakah bayi itu juga turut merasakan apa yang dirasakan ayah yang kini hanya duduk itu. Ia tak tahu bahwa perbuatan yang ia paksakan kepada Maimunah di malam itu menghasilkan sebuah hasil. Hasil dari kebejatannya. Ia tak tahu bahwa kini ia memiliki seorang bayi. Bayi yang sedang menangis. Sungguh Pujanga tidak tahu akan hadirnya anaknya itu di dunia ini. Lalu, mengapa ada kecemasan yang tiba-tiba mendetakkan jantung Pujangga lebih cepat kali ini. Ia hanya duduk memandang jam dinding yang berdetak bersamaan dengan degup jantungnya.

Sebatang rokok kretek ia jepitkan diantara kedua bibirnya. Panjang sekali ia menghisap rokok itu yang langsung saja membuatnya terbatuk-batuk tak kuasa menahan asap tebal yang ia hirup.

Tiba-tiba angin bertiup lebih kencang. Menutup jendela kamar Pujangga yang masih saja duduk memandang jam dinding.
  *   *   *

Desa Beci Dukuh. 20.00 WIB

Rumah itu dipenuhi orang. Ruang depan. Ruang keluarga. Semuanya penuh. Orang-orang itu duduk bersila membelakangi dinding yang warna catnya sudah mulai luntur. Perabot rumah. Meja, kursi dan sebagainya juga diangkat keluar rumah agar semua orang yang sedang berkumpul itu tidak terlalu bersesakan di dalam. Teras depan rumah juga banyak orang berkumpul. Bahkan pakde dan Bude Ali juga datang dari Jakarta sejak beberapa hari yang lalu.

Di dapur rumah itu juga beberapa ibu-ibu nampak memasak air membuat kopi panas untuk orang-orang dalam rumah itu. Mengisi piring-piring dengan camilan-camilan kecil dan meng-oper-kannya ke ruang tengah. Banyak sekali warga Beci Dukuh –bahkan dari desa lain- yang berkumpul di rumah itu. Rumah itu adalah rumah Abah. Haji Rangga Duladi.

Tapi tak satu pun orang dalam rumah itu yang tertawa. Semuanya khusyuk membaca doa-doa. Khusyuk membaca surat Yaasin. Bahkan banyak juga yang raut wajahnya nampak sedih. Beberapa orang –terutama ibu-ibu- malah meneteskan air mata.

Chandradimuka duduk bersila di samping Abah. Hanya mereka berdua yang duduk di tengah ruangan itu. Di kelilingi orang-orang yang duduk melingkar itu. Mata Abah memerah nampak sangat lelah. Sedangkan Chandradimuka tak kuasa mengalirkan air mata. Juga lelah. Tangannya memegang al-Qur’an. Bacaannya juga sama dengan semua orang yang ada di sana. Surat Yaasin. Entah sudah berapa kali ia membacanya malam ini. Semua bacaan itu ia khususkan untuk orang yang kini terbaring diselimuti kain di depannya itu. Di tengah ruangan itu. Ummi. Ya. Kini Ummi telah meninggal dunia. Pergi selama-lamanya. Pergi dengan iringan doa dan bacaan al-Qur’an.

Ummi meninggalkan dunia ini beberapa jam yang lalu. Tepat ketika tuntas melaksanakan Sholatnya yang terakhir, sholat Isya’. Tepat di atas sajadah yang selalu setia menjadi tempat sujudnya. Tepat ketika doa-doa dan harapan-harapannya selesai ia panjatkan kepada Allah Sang Maha Penerima Doa.

Beberapa hari yang lalu Ummi memang nampak sangat sedih. Makanan selezat apapun enggan masuk dalam mulutnya. Berat badannya pun turun drastis. Malam-malamnya juga sangat sedikit sekali ia pejamkan mata. Hari-hari terakhirnya itu justru ia habiskan diatas sajadah setianya untuk membaca al-Qur’an. Tak henti-hentinya Chandradimuka membujuknya untuk memaksa makan. Tapi tak sedikitpun ia berhasil.

Pujangga. Ya, anak pertamanya itulah yang menjadi alasan Ummi enggan makan dan tidur hari-hari belakangan ini. Puncaknya, beberapa hari yang lalu Ummi meminta Chandradimuka untuk mencetak besar foto Pujangga dan membingkainya dengan indah. Foto itu kemudian diletakkan di dinding rumahnya. Foto terbesar yang ada di rumah itu. Dan tak henti-hentinya Ummi sering memandang foto anaknya yang kini entah ada di mana itu. Anak yang sudah lama tidak kembali pulang itu.

“Sudahlah mi. Jangan selalu teringat mas Pujangga sampai seperti itu mi!” ucap Chandradimuka beberapa hari yang lalu ketika melihat Ummi memandang foto Pujangga dengan mata memerah.

Bila sudah teringat sampai seperti itu, tak lama kemudian Ummi mengambil air wudhu dan pergi membaca al-Qur’an. Sebenarnya sudah lama Ummi berusaha untuk tidak terlalu terpuruk dalam kesedihan karena ditinggal Pujangga. Namun sungguh itu terlalu sulit.

Dan pada satu titik, seakan mendapatkan suatu pengetahuan yang hanya dapat dipahami Ummi, tiba-tiba saja Ummi bertekad untuk lebih berusaha ‘melupakan’ Pujangga. Hari-harinya pun sering ia lebih giatkan membaca al-Qur’an. Walaupun di sela-sela Ummi membaca al-Qur’an masih sering menatap foto Pujangga, namun entah mengapa raut wajah Ummi nampak lebih bahagia. Lebih bersinar. Malah senyum lembutnya sering menghias di wajahnya. Abah dan Chandradimuka tentu juga turut bahagia –walaupun juga merasa aneh- dengan perubahan Ummi seperti itu. Dan juga entah kenapa, seakan ingin membagi kebahagiaan yang dirasakannya, tiba-tiba Ummi juga mengundang mbakyunya –Bude Ali- untuk berkunjung ke rumahnya. Ummi memaksa Bude Ali untuk mengunjunginya.

Beberapa jam yang lalu. Mereka semua masih sholat berjamaah di ruang tengah. Abah, Ummi, Chandra, Pakde dan Bude Ali. Tak satu kaki pun melangkah pergi setelah sholat maghrib tadi. Mereka berbincang-bincang tentang apa saja. Ummi lah yang paling banyak bicara saat itu. Pembicaraannya terkesan lebih seperti nasehat dan wasiat. Siapa pun tidak ada yang sadar bahwa itu adalah obrolan terakhirnya.

“Alhamdulillah kita semua bisa berkumpul begini” ucap Ummi tadi. “Walaupun tidak lengkap. Tidak ada Pujangga.”

“Iya. Tapi kita semua harus tetap berdoa untuk dia supaya cepat sadar” Ucap Bude Ali.

“Mas Pujangga lagi Mas Pujangga lagi,” sebal Chandra “kayak gak ada yang lebih cakep aja. Disini kan masih ada saya yang cakepnya gak karuan. Ngapain ngomongin orang yang gak tahu pergi njuntrungannya kemana itu.”

Walaupun kata-kata itu sebenarnya sangat sensitif, tapi semuanya tertawa mendengarnya. Apalagi Chandra mengucapkannya dengan wajah yang dibuat-buat begitu. Mulutnya manyun ke depan. Semua tertawa melihat ekspresi seperti itu.

“Ya sudah. Kalau gitu kita sekarang ngomongin kamu” kata Abah.

“Chandra Chandra, cakep apanya kamu ini?. Ngaca dong!. Masak ngaku cakep kok sampai sekarang gak ada yang mau sama kamu” canda Pakde Ali.

Semua tertawa terbahak. Berlanjut dengan canda-tawa. Becerita tentang banyak hal yang lucu.

Dan kini. Mereka telah sadar. Semuanya telah jelas. Bahwa perubahan yang terjadi pada Ummi akhir-akhir ini adalah sebuah tanda. Bahwa kebahagiaan Ummi akhir-akhir ini adalah sebuah tanda. Bahwa obrolan mereka setelah sholat tadi adalah sebuah tanda. Bahwa tawa Ummi tadi adalah sebuah tanda. Sebuah tanda akan datangnya takdir yang selalu berselimut rahasia.

Semua larut dalam kesedihan.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

1 blogger-facebook:

  1. Kapan novel ini terbit Yub... dah lama mau baca malah ndak jadi.

    ReplyDelete

Item Reviewed: Bab 4 ; Menyelam dalam pekat hitam. Kesunyian menjadi saksi Rating: 5 Reviewed By: Cak Gopar