Thursday 10, Apr 2025

728x90 AdSpace

Baru Dicoret
Thursday, 29 January 2015

Cak Gopar Menghadiri Pernikahan Jalaluddin Rumi di Dergah Maulawiyah

Memasuki bulan Desember yang dingin, Kota Konya dalam setiap tahunnya menghias diri untuk mengadakan sebuah acara besar nan penuh cinta. Acara yang hingga tahun ini telah diadakan sebanyak 741 kali; Seb-i Arus.

Seb-i Arus adalah istilah peringatan malam meninggalnya (di Indonesia sering menggunakan istilah Haul) tokoh sufi besar nan penuh cinta, Maulana Jalaluddin Rumi. Seb-i berasal dari kata Prancis yang berarti; malam, sedangkan Arus berbau bahasa Arab berarti; Pengantin. Malam meninggalnya Maulana Jalaluddin Rumi disebut sebagai Malam Pengantin tidak lain karena pada malam kematiannya ini Ruh Rumi sebagai pecinta bertemu dengan Dzat Kekasih Hakikinya di alam abadi.

Puncak Seb-i Arus diadakan setiap tanggal 17 Desember pada setiap tahunnya, namun untuk menyambut kedatangan para tamu pecinta Maulana rumi dari berbagai negeri, kota Konya membuat serangkaian acara bertema Rumi selama 7 hari sejak tanggal 10 hingga 17 Desember. Baik itu yang resmi diadakan oleh Pemerintah Kota Konya, kampus-kampus, yayasan-yayasan atau komunitas-komunitas tertentu dan lain sebagainya.

"Ölümümüzden sonra mezarımızı yerde aramayınız! Bizim mezarımız âriflerin gönüllerindedir"

“Ketika aku mati, jangan kau palingkan matamu ke pusaraku! (karena) pusaraku berada di hati orang-orang yang arif.”

Mas Agung dan Tramway

Sudah tiga tahun berturut-turut Cak Gopar selalu menghadiri Seb-i Arus yang diadakan oleh Thariqoh Maulawiyah, Tarekat Tasawwuf yang dikembangkan oleh Sultan Walad untuk melestarikan ajaran-ajaran Tasawuf ayahnya, Maulana Jalaluddin Rumi. Mursyid Tarekat maulawiyah di Konya saat ini bernama Syekh Ali Baba.

Dibanding tahun-tahun lalu, Sebi Arus kali ini sedikit berbeda bagi Cak Gopar. Awalnya, Cak Gopar menghadiri dzikir bersama thariqah Maulawiyah ini bersama Mas Agung, Mahasiswa Doktoral di Selcuk University, Mas Agung sendiri adalah sosok yang doyan sekali dengan hal-hal berbau tasawuf, sebab itu ketika saya hendak menghadiri acara ini, dia tentu saja tak perlu berpikir dua kali.

Sehabis menunaikan sholat maghrib, saya menunggu Mas Agung di Masjid Sulta Selim, sebuah masjid yang ada di sebelah makam Maulana Jalaluddin Rumi. Tapi karena Tramway peninggalan Jerman di Konya itu berjalan lamban, Mas Agung pun terlambat dari waktu yang sudah disepakati. Akibatnya, ketika kami masuk ke Dergah Tarekah Maulawiyah, pintu sudah tertutup. Bersama musafir pecinta Rumi yang lain, kami menunggu di depan pintu. Sayang pintu tak kunjung dibuka. Pemilik bakkal (toko kelontong) di samping dergah meminta kami datang selepas isya. Saya dan Mas Agung pun pergi untuk sekedar minum cay.

Tak mau terlambat, kami seringkali melirik handphone untuk mengira-ngira jam berapa kami beranjak kembali menuju dergah. Akhirnya kami berhasil masuk, namun sayang karena jamaah yang begitu melimpah, kami tidak dapat masuk di ruang utama tempat dzikir. Mas Agung pun tak puas, dan berencana untuk balas dendam kembali hadir datang lebih awal.
 Suasana di depan pintu masuk Dergah. Foto diambil diam-diam karena sebenarnya ga boleh nge-foto

Di dapur Dergah Maulawiyah

Dua hari kemudian, kami berencana menghadiri Seb-i Arus di Dergah Maulawiyah. Teman saya, Bernando ‘Jalaluddin’ Sujibto (Bije) juga turut ikut serta. Sejak siang hari kami sudah berkumpul. Selepas sholat Maghrib di Masjid Sultan Selim, kami beranjak cepat menuju dergah, Alhamdulillah pintu masih terbuka lebar. Kami masuk dan berdiri di pintu. Jamaah tarekat Maulawiyah masih sedang membaca wirid ba’da sholat maghrib. Terdengar lantunan La ilaaha Illa Allah dibaca berkali-kali.

Tak lama kemudian, sesosok pria jangkung mempersilahkan kami bertiga untuk pergi ke dapur. Saya yang sudah mengerti karena beberapa kali menghadiri acaara ini pun dengan segera memimpin Mas Agung dan Mas Bije untuk mengambil posisi duduk di meja makan. Tak lama kemudian hidangan khas Turki dihadirkan di tengah-tengah meja, setelah habis disusul dengan makanan jenis lain, tak berhenti di situ, tulumba manisan khas Turki juga ikut mengenyangkan kami, di akhiri dengan minum cay sebagaimana kultur masyarakat Turki.

Dapur tersebut dipenuhi dengan puluhan orang dari mancanegara, telinga saya sendiri pun terasa gatal karena mendengar berbagai macam bahasa. Sedangkan Mas Bije sibuk ngobrol dengan seorang nenek entah dari negara mana. Selepas makan, seorang lelaki berperawakan jangkung tadi memimpin doa selepas makan dengan bahasa Persia, kami yang tak memahami satu kalimat pun hanya melongo sembari meng-amin-kan. Amin!.
Nampak Cak Gopar yang paling ganteng diantara mas Bernando dan Mas Agung
Tarian cinta sang Darwish

Mengerti akan penuhnya ruang dzikir nanti, saya pun memberi komando ke Mas Agung dan Mas Bije untuk segera beranjak menuju ruang dzikir.

“Meluruskan kaki sejenak untuk menghilangkan lelah saja kamu akan kesulitan karena terlalu penuhnya manusia”. Ujar saya menjelaskan agar segera mencari posisi yang baik nantinya. Saya sendiri mendapatkan posisi tepat di samping para pemusik.

Syekh Ali Baba yang berperawakan sedikit pendek dan gemuk penuh senyum, beliau sudah duduk di atas kursi kecil sembari menebar senyum.
Seseorang di barisan pemusik dengan suara tegas dan melengking memulai membaca tawassul dengan bahasa Persia. Dzikir pun dimulai, lantunan syair dalam bahasa Persia dinyanyikan dengan merdu, suara seruling ney yang ditiup membawa saya ke dunia antah berantah, Def yang dipukul bertalu-talu membawa saya bergerak ritmis. Semua terhanyut dalam dzikir.

Di tengah khusyuknya berdzikir, seorang darwish dengan hirka sufinya datang menghadap Syekh Ali Baba dengan isyarat meminta izin untuk menari. Sang Darwish pun berputar, berputar dan berputar diiringi lantunaj dzikir. Hirka nya mengembang bagai mawar yang merekah, tangan kananya seolah menggapai cinta Allah dan dari tangan kirinya menyebarkan cinta yang didapatinya ke seluruh makhluk di dunia ini. Dan hati kami pun penuh dengan cinta.

Perlu diketahui, semua yang hadis dalam dergah Maulawiyah ini bukan hanya dari kalangan Muslim. Baik Nasrani, Syiah, Majusi…. Siapapun yang hadir di Dergah bersama-sama berzikir menyebut nama Allah. Melihat kumpulan orang-orang ini, hati saya berbisik, sepertinya mereka inilah yang mendengar panggilan Maulana Jalaluddin Rumi sebagaimana yang terkenal dalam syairnya:

Gel, gel, ne olursan ol yine gel,
İster kafir, ister mecusi,
İster puta tapan ol yine gel, ,
Bizim dergahımız, ümitsizlik dergahı değildir,
Yüz kere tövbeni bozmuş olsan da yine gel...

Kemari!, datanglah kemari!, sipapaun anda datanglah!
Apakah anda seorang kafir, seorang Majusi,
Atau seorang penyembah berhala, datanglah kemari!
Dergah kami bukanlah tempat putus asa
Datanglah kemari meskipun dengan seratus penyesalan yang terkoyak

Burasi Sir Kapisi… Di sini pintu rahasia

Kami bertiga beranjak pulang, baru saja keluar dari dergah kami bertemu dengan seorang perempuan tua yang semeja dengan kami tadi di dapur. Dia mengajak kami ke acara lain, ke sebuah komunitas yang dinamakan Dervish Brotherhood. Sebenarnya saya tak begitu berkenan karena terlalu lelah, namun Mas Bije sedikit memaksa. Dia memang haus dengan pengalaman.

Kami menuju satu tempat tak jauh dari makam Jalaluddin Rumi. Nenek tadi mempersilahkan kami untuk masuk ke sebuah tempat yang artistik. Sebuah pintu dengan kain penutup hitam menarik perhatian saya, tertulis di atasnya “Burasi sir kapisi…. Disini adalah pintu rahasia”, dan kami memasukinya. Beberapa orang asing dengan wajah eropa sibuk menyiapkan cay, sedang kami duduk di ruang luas yang masih sepi. Di ruang inilah sekitar setengah jam kemudian dipenuhi manusia-manusia dari berbagai mancanegara. Seorang Syekh dari India yang akan memimpin dzikir telah hadir, kami sedikit mengobrol dengan syekh berjanggut merah tersebut. Dia berbicara beberapa kalimat dengan bahasa Indonesia, ternyata adik iparnya adalah orang Jakarta.

Sebelum dzikir, Syekh tersebut menjelaskan tentang apa itu Sebi Arus, dan dia bercerita tentang seorang sufi besar dari India, Syekh Moinuddin Chisti atau yang di india dikenal dengan Gharib Nawaz. Dzikir berlanjut, yang sedikit berbeda…. Di komunitas ini syair yang dibaca menggunakan bahasa India, darwish yang menari berputar pun tidak seperti tarian darwish yang biasa saya lihat, tapi tarian India. Tariannya sangat indah. Tarian sufi ini pernah saya lihat di sinetron india Jodha Akbar “hehehe” ketika raja Jalal dan istrinya Jodha pergi untuk berziarah ke makam Syekh Moinuddin Chisti di Ajmer Sharif, India. Sedikit tentang Gharib Nawaz ini, beliau dikenal karena mempraktekkan Sufi Sulh e Kul (Kedamaian bagi semua) yang mempromosikan toleransi dan hubungan baik antara muslim dan non-muslim. Tarekatnya sekarng dikenal dengan tarekat Chistiyah.
Ilustrasi Tari Darwish India
  Ilustrasi musik yang dimainkan di Derwish Brotherhood sama seperti video ini, tapi dilengkapi dengan tarian. 

Puncak Seb-I Arus

Esoknya, tanggal 17 Desember. Saya dan Mas Bije menghadiri puncak Sebi Arus di Makam Maulana Jalaluddin rumi. Baru kali itu saya melihat kawasan Makam Rumi di penuhi manusia sebanyak itu. Pintu utama tertutup, hanya dimasuki oleh para ulama dan pejabat-pejabat penting. Saya dan ratusan orang lain hanya bisa melihat para ulama yang sedang memimpin doa tepat di depan pusara Maulana Rumi itu dari layar proyektor besar yang disediakan di taman..

Setelah selesai, ratusan anak-anak yang dari tadi gaduh di pelataran makam melepaskan ratusan balon ke udara dengan senyum merekah. Balon itu pergi ke langit dengan sejuta cinta dari Maulana Jalaluddin Rumi.


Ratusan peziarah berdoa di taman depan Pusara Maulana Rumi

Balon cinta berterbangan di atas Pusara Rumi setelah Seb-i Arus selesai 
  • Komentar dengan ID Blogger
  • Komentar dengan Akun Facebook

0 blogger-facebook:

Post a Comment

Item Reviewed: Menghadiri Pernikahan Jalaluddin Rumi di Dergah Maulawiyah Rating: 5 Reviewed By: Cak Gopar