Bab sebelumnya Klik DISINI
Hidup itu adil, namun banyak orang yang keinginannya tidak tercapai lalu menjadikan hidup sebagai kambing hitam atas nasibnya, lalu ia menganggap bahwa hidup itu tidak adil. Kemudian jika ia tidak segera sadar dan tetap terpuruk atas nasib yang sebenarnya adalah ujian, maka ia akan lebih berani untuk mengatakan bahwa tuhanlah yang tidak adil atas nasibnya. Lantas apakah orang-orang yang sering dugem di diskotik itukah yang melupakan tuhan? Preman-preman di terminal yang tak pernah berdoa itukah yang mengkhianati tuhan? Deretan kupu-kupu malam di sepanjang jalan yang melambaikan tangan menawarkan kenikmatan kepada pengendara yang mleintas itukah yang berselingkuh dari tuhan?. Atau bahkan para pemuda berjubah dan bersurban yang obrak-abrik kemunkaran atas nama tuhan itukah yang tanpa sadar telah menjelekkan nama tuhan?. Entah. Tapi mungkin salah satu dari sekian banyak manusia-manusia yang sering dianggap hina itu adalah Pujangga.
Pujangga anak dari kiyai kampung Haji Rangga Duladi, seorang santri nakal namun cerdas, seorang CEO sebuah restaurant bergengsi itu kini hatinya terpuruk, dia merasa bahwa tuhan telah memberinya neraka yang membakar harapan-harapannya. Dan kini hatinya selalu berteriak-teriak menuntut keadilan tuhan.
Pujangga berubah. Dalam dua tahun terakhir yang telah ia lewati. Kini hampir semua dosa pernah ia jamah. Diskotik ia masuki tanpa membayar dengan berbagai cara. Merokok sudah seperti menghirup udara baginya. Mabuk tidak akan terjadi pada dirinya kecuali diatas tujuh botol bir dalam semalam. Namun satu hal yang ia tidak ingin melakukannya, berzina dengan perempuan. Bukan tak ingin atau tak mampu. Tapi karena perempuanlah ia terjerumus seperti ini. Pujangga sangat membenci perempuan. Bagaimana tidak?, dulu Pujangga adalah pembela kaum perempuan, tapi ternyata ia justru terpuruk karena perempuan yang ia bela.
Dua tahun yang lalu, pagi hari setelah malam kejadian di Bogor dengan bu Dinda. Pujangga bangun dari tidurnya, ia dapati Bu Dinda terbaring di sebelahnya hanya tertutup oleh selimut tebal yang membuatnya pulas dalam tidur. Kemudian ia duduk dan mendapati tubuhnya tidak berbeda dengan perempuan di sebelahnya itu. Beberapa detik ia mencoba mengumpulkan ingatan apa yang telah terjadi semalam. Pujangga kemudian menunduk malu dan merasa dirinya adalah manusia hina. Lalu Pujangga mengenakan pakaian yang berceceran di lantai. Ia melangkah linglung menuju ke kamarnya yang ada di ujung villa itu. Villa nampak sepi, nampaknya semua masih tertidur. Ia masuk ke dalam kamar mandi dan tanpa melepaskan pakaian ia menyalakan shower, dalam guyuran air itulah ia mulai menangis, ia menghina diri sendiri. Hatinya mengutuk segala hal yang telah terjadi.
Setelah berkemas ia pergi dari Villa itu. Mobil kantor yang sering ia gunakan kini ia tinggalkan terparkir di halaman villa bersama deretan mobil-mobil mewah lain. Naik bis jurusan Bogor-Jakarta. Dalam perjalanan itu ia duduk termenung. Melihat lintasan-lintasan pemandangan dari jendela bis membawa ingatannya saat pertamakali dalam kereta menuju Jakarta, teringat akan harapan dan cita-citanya. Nampaknya apa yang ia impikan justru berbalik arah. Titik-titik air hujan di jendela bis itu mengaburkan pandangannya melihat pemandangan. Ia menangis. Perih sekali hatinya. Dan langkah ini adalah urusan terakhirnya dengan bu Dinda dan perusahaannya.
Kuliahnya selesai tepat empat tahun. Dua minggu setelah kejadian itu skripsinya di uji. Dan tiga bulan kemudian Pujangga diwisuda. Saat-saat menunggu wisuda inilah ia merasa tersiksa. Orang tuanya yang ingin sekali hadir dalam wisuda itu dilarang oleh Pujangga dengan berbagai macam alasan yang dibuat-buat. Walaupun tak seorang pun yang tahu kejadian yang ia alami tapi sebenarnya Pujangga takut dan malu terhadap Abah dan Ummi karena ia merasa bahwa dirinya sudah hina, ia sudah tidak perjaka. Akhirnya pakde dan bude Ali lah yang hadir dalam wisudanya itu.
Pujangga merasa benar-benar sendiri di dunia ini. Dia enggan untuk sekedar mengunjungi teman-teman Bunda Setia. Kerjaan pun ia tak punya. Ia kembali sementara tinggal di rumah pakde Ali. Pakde sering memperhatikan tingkah laku Pujangga yang makin nampak terpuruk. Bila ditanya tentang masalahnya, ia beralasan berpikir untuk mencari pekerjaan yang cocok. Orangtuanya sering telpon menyuruhnya untuk segera kembali saja ke rumah, tapi Pujangga bersikeras ingin tetap di Jakarta dulu sampai menemukan pekerjaan yang sesuai. Alangkah kecewa Abah, namun hal itu tentu saja tak diucapkannya pada anaknya.
Tidak lama setelah kejadian laknat di villa itu, beberapa kali ia dengar dari teman-temannya bahwa bu Dinda mencari-cariya di tempat Mpok Lohan. Malah Pujangga pernah melihat sendiri bu Dinda menunggunya di depan gerbang kampus memperhatikan satu-persatu mahasiswa yang keluar mencarinya, untung saja Pujangga melihat dulu sebelum bu Dinda menemukannya. Tak ayal lagi Pujangga lari ke gerbang lain. Pujangga sudah merasa sangat jijik dengan perempuan itu. Walaupun dia tidak salah, namun dia takut bila bu Dinda yang terus mencarinya itu akhirnya akan menemukan rumah pakde. Dia takut bila perempuan itu akan menceritakan semuanya kepada pakde sebagai bentuk tanggung jawabnya. Pujangga tidak berkehandak demikian, dia berharap kejadian itu tertutup rapat dan pujangga tak ingin bertemu perempuan itu. Titik.
“Apa yang harus kulakukan?” hatinya gelisah.
Maka dalam ketakutannya inilah akhirnya Pujangga memutuskan pergi tanpa pamit dari semua orang yang dia kenal agar dia tidak susah untuk menjawab pertanyaan yang pasti akan datang bertubi-tubi, pindah kemana? kenapa pindah? dan lain-lain. Pakde, Bude, Fatma dan yang paling menyakitkan hatinya adalah ia tak akan memberi tahu Abah dan Ummi tentang kepergiannya itu.
Pujangga terus mengingat kejadian yang telah dialaminya dua tahun belakangan ini. Sambil menghisap kretek, ia duduk di depan jendela kamar kosnya yang sudah ia tempati dua tahun belakangan ini, secangkir kopi pahit panas menemaninya mengalahkan udara malam yang dingin. Awalnya dia berkali-kali pindah kos, dan akhirnya daerah kumuh di pinggiran bantaran sungai Ciliwung inilah ia merasa cocok. Dan mungkin sebagai akibat adaptasinya, kini keadaan tubuhnya nampak sesuai dengan sekitarnya, rambutnya dibiarkan awut-awutan gondrong, kumisnya makin tebal, tubuhnya makin kurus namun tetap kekar, siapapun tak akan percaya bila melihatnya bahwa dulu ia adalah pemuda kaya, bahwa dia sempat mengenyam pendidikan di pesantren. Tapi kini, kerjaan tetap pun ia tak punya. Bila ada proyek gedung yang sedang dibangun kadang dia menjadi kuli bangunan tersebut, dengan dari upah harian sebagai kuli itulah ia mendapatkan uang untuk kehidupan sehari-hari. Kemiskinan, tubuh sangar dan lingkungan tak terurus yang menempel pada dirinya menjadi modal untuk ditakuti orang. Walaupun ia tak pernah melukai seseorang tapi orang yang akan melihatnya akan memilih tidak berurusan dengan pemuda gondrong, brewok yang berwajah sangar ini.
Meskipun Pujangga membenci dirinya, dan bahkan membenci tuhannya. Namun masih ada kebaikan yang tersisa dalam hatinya, ia sangat senang sekali bila melihat orang yang berbuat baik terhadap sesama dan melaksanakan agamanya. Entah apa rencana tuhan, mungkin Dia masih melihat kebaikan hati Pujangga ini walaupun sekecil biji sawi.
Dua tahun tinggal di bantaran sungai Ciliwung, tetapi Pujangga tak mengenal baik dengan tetangga-tetangganya. Seorang tetangga dua kamar setelah kamar kosnya bernama Maimunah. Perempuan asli dari Solo ini membuat Pujangga ingin kenal lebih dekat dengannya. Setiap malam Pujangga melihatnya pulang dari kerja yang awalnya tidak ia ketahui, pikirnya ia seperti kebanyakan perempuan yang ada di daerah itu yang nyambi sebagai pelacur. Namun alangkah kagetnya suatu malam ketika ia melewati depan kamar Maimunah, sayup-sayup ia mendengar suara yang tidak ia sangka-sangka. Sudah lama ia tak menyebutkannya. Perempuan tetangganya itu mengucapkan takbir mengagungkan nama Allah mengawali sholat malam. Hati Pujangga bergetar ketika mendengar takbir itu.
Besoknya ia menunggu kedatangan perempuan itu pulang dari kerja. Ia sangat ingin berkenalan dengan tetangga yang tak pernah ia sapa itu sebelumnya.
“Kita tetangga, dan aku ingin berkenalan denganmu” pinta Pujangga konyol.
Dan dari perkenalan konyol yang terkesan ia paksakan itulah ia tahu bahwa Maimunah bekerja sebagai cleaning service di sebuah mall yang ada di seberang bantaran sungai Ciliwung itu. Malam harinya setelah bekerja, Maimunah tidak lantas pulang ke kamar kos, tapi pergi ke kolong jembatan tidak jauh dari sungai itu. Di sana sekitar lima belas anak menunggunya setiap malam. Maimunah adalah guru mengaji mereka. Maka makin kagumlah Pujangga terhadap Perempuan ini. Sejak ia tahu sedikit tentang kehidupan Maimunah, Pujangga seringkali menjemputnya di kolong jembatan sembari menunggu untuk pulang dan jalan bersama.
“Mengapa kamu memperhatikan anak-anak kolong jembatan itu?” Tanya Pujangga satu malam sembari berjalan pulang sehabis mengajar.
“Tidak ada kebahagian yang paling membuat kita merasa bahagia kecuali memberikan sesuatu kepada orang yang kita cintai. Aku mencintai anak-anak itu karena kehidupanku pernah lebih buruk daripada mereka. Dan kini setiap kali aku melihat mereka maka aku selalu melihat diriku di masa lalu. Aku ingin membenahinya walaupun apa yang kulakukan ini adalah sebuah langkah yang sangat kecil.”
Pujangga merasa takjub dengan jawaban panjang itu. Kehidupannya dulu jelas lebih baik darinya sekarang, namun ia tak pernah merasakan apa yang dirasakan perempuan yang baru dikenalnya itu. Lain halnya dengan Maimunah, setelah mengatakan itu, matanya nampak berkaca-kaca mengingat masa lalunya. Matanya memerah. Pujangga merasakan kesedihan perempuan di sampingnya itu. Rupanya ada yang melintas di Benak Maimunah ketika mengatakan tadi.
“Maukah kamu berbagi cerita denganku. Aku melihat ada yang membebani hidupmu.” Ucap Pujangga
“Asalkan kamu juga mau menceritakan tentang dirimu. Karena orang sepertiku tidak bisa tertipu dengan wajah brewok garangmu itu. Aku dapat melihat beban berat dari matamu.”
Pujangga tersenyum dengan ucapan Maimunah itu. Ternyata masih ada orang yang bisa memperhatikannya. Pujangga mengangguk.
Pujangga dan Mimunah menghentikan langkah ketika tiba di depan kos mereka. Namun keduanya memilih duduk di pembatas sungai Ciliwung sambil melihat sungai itu. Musim kemarau seperti ini membuat tumpukan sampah di sungai makin nampak bak bukit kecil di tengah sungai, tak ayal lagi bau menyengat menyebar kemana-mana. Tapi bagi orang seperti Pujangga dan Maimunah itu sudah biasa. Malah beberapa tetangga yang lebih lama tinggal di sana akan merasa pusing bila mencium harum wangi-wangian, mereka akan segar kembali bila mencium bau lingkungannya itu, bau sampah di sungai ciliwung. ‘Bau alam kita’ begitu mereka menyebutnya.
“Keluargaku adalah keluarga yang berantakan. Sangat tidak bahagia” ucap Maimunah mengawali ceritanya. Matanya kembali berkaca-kaca mengenang masa lalunya jauh di Solo.
“Ada apa dengan keluargamu?”
“Kemiskinan membuat kami gila. Aku adalah anak pertama dari tiga saudara dan satu-satunya perempuan. Ayahku bekerja sebagai sopir bis antar propinsi sedangkan ibu merawat kami bertiga di rumah. Sangat bahagia awalnya” sesaat Maimunah terdiam.
“Lalu?” Tanya Pujangga
“Namun kehidupan kami berubah ketika bis ayah mengalami kecelakaan. Berbulan-bulan Ayah dirawat di rumah sakit. Awalnya perusahaan bis tempat ayah bekerja menanggung biaya perawatan, namun bantuan perusahaan lama-lama makin seret dan berbelit-belit yang akhirnya tak berlanjut lagi ketika tahu bahwa sakit ayah semakin parah. Ternyata selama ini ayah mempunyai penyakit Diabetes Melitus parah yang ia tutup-tutupi dari keluarga. Kata dokter, luka-luka yang dialami dari kecelakaan itu tidak dapat kering karena Diabetes Melitus itu. Bila dibiarkan maka makin menyebar ke bagian tubuh lain. Semua harta sudah ludes dijual untuk membiayai pengobatan ayah, terakhir ibu juga menjual rumah yang baru setahun lunas di beli ayah lewat cicilan dan resmi menjadi rumah kami itu. Ibu menggantinya dengan mengontrak rumah kecil untuk kami. Namun sehari-hari, ibu jarang sekali pulang ke rumah kecil itu, ia lebih memilih mendampingi ayah di rumah sakit. Selama masih dirawat, ayah tidak mengetahui bahwa ibu menjual rumahnya. Akhirnya kaki kanan ayah harus diamputasi karena lukanya makin menyebar bila dibiarkan. Hati kami terasa pahit ketika melihatnya sadar sehabis operasi amputasi itu, ia mencoba menggerakkan kaki kanannya yang tertutup selimut namun ia tak merasakannya, Ibu menangis ketika melihat keadaan ayah saat itu. Karena tak kunjung sembuh dan bosan sudah berbulan-bulan hidup diatas kasur rumah sakit akhirnya ayah ngotot minta pulang ke rumah. Alangkah kaget ia ketika dibawa pulang ke sebuah rumah kecil yang ibu sewa, ia menangis melihat keluarganya menjadi seperti itu, namun ayah dapat memaklumi apa yang dilakukan ibu. Tapi tidak lama kemudian……”. Maimunah berhenti sejenak. Ia mencoba melawan ombak hatinya yang tiba-tiba bergelombang kuat.
“Apa yang terjadi berikutnya?” Tanya Pujangga.
“Tanpa perawatan dokter, sakit ayah semakin parah. Sangat memprihatinkan. Dan akhirnya ayah pergi untuk selama-lamanya. Aku masih ingat sekali keadaan ibu yang sering pingsan saat hari kematian ayah itu. Beban ibu sangat berat. Aku dan kedua adikku hanya bisa menangis, mereka berdua tentunya masih belum terlalu banyak tahu karena masih kecil.” Maimunah menghirup panjang memenuhi dadanya dengan udara.
“Aku kira” Maimunah melanjutkan ceritanya “Semuanya sudah berakhir, harapanku kami akan memulai kehidupan baru tanpa ayah. Tapi ternyata tuhan belum cukup melihat ujian yang Ia berikan kepada kami. Sejak kepergian ayah, ibu mengalami gangguan jiwa, terkadang ia normal seperti ibu yang aku kenal, dan terkadang ia berubah menjadi orang yang tak pernah kukenal. Terlalu berat memang bebannya. Ia seakan hidup dalam dunia yang berbeda, sering bicara sendiri, tiba-tiba berteriak, yaa seperti orang gangguan jiwa pada umumnya. Aku menjadi bahan ejekan teman-teman karena mempunyai ibu yang tidak selalu normal itu. Kami ketiga anaknya jelas makin tak terurus. Sekolahku berhenti hanya sampai kelas dua SMP. Melihat keadaan kami seperti itu, para tetangga sering memberi kami makan, uang jajan dll. Bila ibu dalam keadaan normal, ada sebagian tetangga yang memanggilnya untuk mencuci pakaian, piring, menyetrika dan lain-lain. Dari situ ibu dapat upah yang sering ia belikan jajanan pasar untuk anak-anaknya” Maimunah tersenyum mengenang ibunya yang walaupun mengalami gangguan jiwa tapi tetap menunjukkan kasih sayangnya itu.
“Tapi yang membuatku hampir juga gila adalah kedua adikku yang masih kecil itu” lanjut Maimunah “Entah apa yang dipikirkan ibu dalam ketidakwarasannya itu, suatu malam ketika kami tidur, aku terbangun karena mendengar suara gaduh dan badanku merasa panas. Ketika sudah cukup sadar aku berteriak melihat ibu tertawa menjerit-jerit sambil memeluk kedua adikku. Ia membakar diri bersama kedua adikku yang teriak menangis dalam pelukannya itu” Maimunah berhenti bercerita.
Sejenak ia memberi kesempatan air matanya yang mengalir semakin deras. Dadanya naik turun mencoba menenangkan.
“Tidak kuat melihat keadaan seperti itu aku berlari keluar rumah dan berteriak minta tolong. Semua tetangga mencoba membantu menolong ibu, tapi terlambat. Ibu dan kedua adikku meninggal hangus terbakar. Pagi harinya ratusan orang berkumpul di rumahku, wartawan juga sibuk meliput. Aku tidak tahan dan lalu pergi. Ketika melewati sebuah warung, aku sempat melihat tubuh ibu dan adikku di layar televisi yang sedang memberitakannya. Itulah terakhir kali aku melihat mereka. Aku terus melangkah dan berhenti di kuburan ayah, aku peluk gundukan tanah itu, aku tumpahkan kesedihanku kepadanya, lama sekali aku duduk bersama ayah hingga aku tertidur diatas kuburannya. Ketika bangun, kemudian aku pergi tanpa arah, kakiku terus melangkah. Tak punya tujuan. Aku menjadi anak jalanan. Aku mengikuti jejak anak-anak jalanan lain yang meminta-minta, mengamen. Di perempatan jalan, di atas bis, hingga kereta api semua menjadi tempat hidupku. Suatu saat ketika aku duduk melepas lelah sehabis mengamen di stasiun Balapan Solo aku merenungi nasibku ini. Kesedihanku terhadap apa yang terjadi pada keluargaku tidak mudah luntur begitu saja. Dalam tidur aku sering bermimpi mendengar jeritan tawa ibu dan adik-adikku di malam terakhirnya itu. Akhirnya kuputuskan pergi dari Solo agar aku tidak mengingat keluargaku terus-menerus. Sebuah kereta ekonomi jurusan Jakarta kunaiki, diatasnya aku mengamen. Aku tidak turun dari kereta itu hingga tiba di Jakarta. Itulah langkah pertamaku di Jakarta. Terkatung-katung aku di Jakarta menjadi pengamen bersama anak jalanan lain. Hingga suatu saat aku bertemu dengan almarhum pak Farid, seorang ustadz kampung berusia lanjut di dekat stasiun Senen. Hari-harinya ia habiskan menjaga musholla kecil disana. Malam hari sehabis mengamen kadang aku pergi mengaji di musholla yang ia jaga itu. Beliau benar-benar banyak mengisi hidupku. Walaupun saat itu aku masih kecil, tapi aku dapat melihat kegetiran hati pak Farid. Beliau benar-benar banyak memberiku inspirasi.”
Maimunah menoleh ke Pujangga yang mendengar kisahnya sambil memandang tumpukan sampah di tengah sungai itu. Pujangga kemudian menatap wajah Maimunah.
“Itulah aku. Hingga jadi seperti sekarang ini” ucap Maimunah mengakhiri kisahnya.
Pujangga menarik nafas panjang mendengarnya.
“Aku ikut merasakan. Sungguh berat beban hidupmu Maimunah” ucap Pujangga.
“Awalnya aku berpikir begitu. Beban hidup seperti itu terlalu berat untuk anak seumsiaku. Tapi berteman dengan anak jalanan lain aku tahu ternyata mereka juga tidak jauh mengalami nasib sepertiku. Ternyata aku tidak sendiri. Karena itulah aku berjanji untuk tidak terlalu larut dalam kesedihan”.
Pujangga terdiam. Hatinya berbisik mencoba membandingkan hidup Maimunah dengan apa yang telah ia alami. Dia makin kagum terhadap perempuan disampingnya itu. Pujangga malu terhadap dirinya sendiri yang begitu lemah dan cengeng, tidak seperti Maimunah yang dihempas bertalu-talu oleh gelombang kehidupan namun tetap tegar berdiri.
“Sekarang, ceritakan apa yang membebanimu?” Tanya Maimunah
“Aku diperkosa” jawab Pujangga singkat.
Maimunah tersenyum. Dikiranya jawaban itu hanya bercanda. Namun ia memperbaiki sikapnya itu ketika melihat wajah Pujangga nampak diam serius.
“Diperkosa?. Aneh”
Pujangga menganggukkan kepala. Ia pejamkan matanya. Bayangan bu Dinda di malam laknat itu mampir di benaknya. Disusul kemudian bayangan Abah dan Ummi terlintas. Ketika membuka mata ia mulai bercerita kepada Maimunah tentang hidupnya tanpa ada yang ditutup-tutupi. Ia ceritakan semua mulai saat kepergiannya ke Jakarta, harapan-harapannya, kuliahnya, Fatma, hingga bu Dinda perempuan yang baik hati namun menyimpan udang di balik batu. Perempuan yang pernah ia tolong namun malah memperkosanya itu. Dan terakhir tentang keputusannya untuk pergi dari semuanya hingga saat ini.
“Ternyata aku lebih lemah darimu Maimunah” ucapnya diakhir cerita “Hidupmu jauh lebih berat, kamu menghadapinya dengan kuat. Tapi aku, aku sangat cengeng menghadapinya. Aku lari dari kenyataan.”
“Tidak Pujangga. Bukankah tuhan memberi kita ujian sebatas kemampuan kita. Aku yakin tuhan lebih tahu takaran ujian yang diberikannya kepada seseorang. Bila aku jadi kamu mungkin aku juga melakukan hal yang sama seperti kamu.”
Sesaat keduanya terdiam. Melihat tumpukan sampah di tengah sungai yang dari tadi tidak mengalir itu. Seekor tikus besar diam-diam mencari makanan di atas tumpukan itu. Terlalu banyak memang sampah di sana.
“Berapa usiamu sekarang?” Tanya Pujangga tiba-tiba.
“dua puluh dua tahun”
“Aku lebih tua empat tahun darimu. Maukah kamu menjadi adikku dan kita akan saling menjaga?”
Maimunah tersenyum mendengar pertanyaan itu. Hatinya geli.
“Baiklah mas Pujangga” Keduanya tersenyum.
Hari-hari berikutnya Pujangga nampak lebih ceria. Keterpurukannya sedikit terobati oleh hadirnya adik barunya, Maimunah. Dari keakraban itu mereka berjanji untuk saling menjaga. Pujangga juga berjanji kepada Maimunah untuk sedikit demi sedikit berubah, tidak mabuk-mabukan lagi bila rasa sedih menyerangnya, tidak ke diskotik. Paling-paling hanya rokok kretek yang sangat susah untuk Pujangga tinggalkan. Walaupun rambutnya masih dibiarkan gondrong, namun kumis dan brewoknya yang berantakan dan awut-awutan itu sudah dicukur atas perintah Maimunah. Maimunah benar-benar tidak menyangka ada wajah yang tampan di balik brewok yang gak karuan itu.
“Rambutmu yang gondrong itu sungguh membuatmu nampak lebih tua” ucap Maimunah suatu hari.
Walaupun sudah banyak perubahan yang terjadi pada Pujangga. Tapi entah mengapa Maimunah tak pernah berhasil membujuk Pujangga memotong rambutnya itu.
“Aku hanya mau rambut ini terpotong di tanganmu Maimunah. Tapi nanti. Suatu saat kamu pasti akan memotongnya. Jangan sekarang. Kamu akan memotongnya ketika aku sudah bisa memaafkan diriku sendiri”. Ucap Pujangga merespon bujukan Maimunah yang sering ia keluhkan itu. Dan sejak Pujangga mengatakannya Maimunah pun tak pernah mencoba lagi membujuk untuk memotong rambut Pujangga.
Pujangga merasa bahagia karena ternyata masih ada orang yang memperhatikannya. Kini meskipun masih nampak sangar, ia sudah sedikit bersih dan terawat.
“setiap detik dari yang kita lewati adalah kesempatan emas kita untuk berubah.” Nasehat Maimunah suatu hari.
Hidup itu adil, namun banyak orang yang keinginannya tidak tercapai lalu menjadikan hidup sebagai kambing hitam atas nasibnya, lalu ia menganggap bahwa hidup itu tidak adil. Kemudian jika ia tidak segera sadar dan tetap terpuruk atas nasib yang sebenarnya adalah ujian, maka ia akan lebih berani untuk mengatakan bahwa tuhanlah yang tidak adil atas nasibnya. Lantas apakah orang-orang yang sering dugem di diskotik itukah yang melupakan tuhan? Preman-preman di terminal yang tak pernah berdoa itukah yang mengkhianati tuhan? Deretan kupu-kupu malam di sepanjang jalan yang melambaikan tangan menawarkan kenikmatan kepada pengendara yang mleintas itukah yang berselingkuh dari tuhan?. Atau bahkan para pemuda berjubah dan bersurban yang obrak-abrik kemunkaran atas nama tuhan itukah yang tanpa sadar telah menjelekkan nama tuhan?. Entah. Tapi mungkin salah satu dari sekian banyak manusia-manusia yang sering dianggap hina itu adalah Pujangga.
Pujangga anak dari kiyai kampung Haji Rangga Duladi, seorang santri nakal namun cerdas, seorang CEO sebuah restaurant bergengsi itu kini hatinya terpuruk, dia merasa bahwa tuhan telah memberinya neraka yang membakar harapan-harapannya. Dan kini hatinya selalu berteriak-teriak menuntut keadilan tuhan.
Pujangga berubah. Dalam dua tahun terakhir yang telah ia lewati. Kini hampir semua dosa pernah ia jamah. Diskotik ia masuki tanpa membayar dengan berbagai cara. Merokok sudah seperti menghirup udara baginya. Mabuk tidak akan terjadi pada dirinya kecuali diatas tujuh botol bir dalam semalam. Namun satu hal yang ia tidak ingin melakukannya, berzina dengan perempuan. Bukan tak ingin atau tak mampu. Tapi karena perempuanlah ia terjerumus seperti ini. Pujangga sangat membenci perempuan. Bagaimana tidak?, dulu Pujangga adalah pembela kaum perempuan, tapi ternyata ia justru terpuruk karena perempuan yang ia bela.
Dua tahun yang lalu, pagi hari setelah malam kejadian di Bogor dengan bu Dinda. Pujangga bangun dari tidurnya, ia dapati Bu Dinda terbaring di sebelahnya hanya tertutup oleh selimut tebal yang membuatnya pulas dalam tidur. Kemudian ia duduk dan mendapati tubuhnya tidak berbeda dengan perempuan di sebelahnya itu. Beberapa detik ia mencoba mengumpulkan ingatan apa yang telah terjadi semalam. Pujangga kemudian menunduk malu dan merasa dirinya adalah manusia hina. Lalu Pujangga mengenakan pakaian yang berceceran di lantai. Ia melangkah linglung menuju ke kamarnya yang ada di ujung villa itu. Villa nampak sepi, nampaknya semua masih tertidur. Ia masuk ke dalam kamar mandi dan tanpa melepaskan pakaian ia menyalakan shower, dalam guyuran air itulah ia mulai menangis, ia menghina diri sendiri. Hatinya mengutuk segala hal yang telah terjadi.
Setelah berkemas ia pergi dari Villa itu. Mobil kantor yang sering ia gunakan kini ia tinggalkan terparkir di halaman villa bersama deretan mobil-mobil mewah lain. Naik bis jurusan Bogor-Jakarta. Dalam perjalanan itu ia duduk termenung. Melihat lintasan-lintasan pemandangan dari jendela bis membawa ingatannya saat pertamakali dalam kereta menuju Jakarta, teringat akan harapan dan cita-citanya. Nampaknya apa yang ia impikan justru berbalik arah. Titik-titik air hujan di jendela bis itu mengaburkan pandangannya melihat pemandangan. Ia menangis. Perih sekali hatinya. Dan langkah ini adalah urusan terakhirnya dengan bu Dinda dan perusahaannya.
Kuliahnya selesai tepat empat tahun. Dua minggu setelah kejadian itu skripsinya di uji. Dan tiga bulan kemudian Pujangga diwisuda. Saat-saat menunggu wisuda inilah ia merasa tersiksa. Orang tuanya yang ingin sekali hadir dalam wisuda itu dilarang oleh Pujangga dengan berbagai macam alasan yang dibuat-buat. Walaupun tak seorang pun yang tahu kejadian yang ia alami tapi sebenarnya Pujangga takut dan malu terhadap Abah dan Ummi karena ia merasa bahwa dirinya sudah hina, ia sudah tidak perjaka. Akhirnya pakde dan bude Ali lah yang hadir dalam wisudanya itu.
Pujangga merasa benar-benar sendiri di dunia ini. Dia enggan untuk sekedar mengunjungi teman-teman Bunda Setia. Kerjaan pun ia tak punya. Ia kembali sementara tinggal di rumah pakde Ali. Pakde sering memperhatikan tingkah laku Pujangga yang makin nampak terpuruk. Bila ditanya tentang masalahnya, ia beralasan berpikir untuk mencari pekerjaan yang cocok. Orangtuanya sering telpon menyuruhnya untuk segera kembali saja ke rumah, tapi Pujangga bersikeras ingin tetap di Jakarta dulu sampai menemukan pekerjaan yang sesuai. Alangkah kecewa Abah, namun hal itu tentu saja tak diucapkannya pada anaknya.
Tidak lama setelah kejadian laknat di villa itu, beberapa kali ia dengar dari teman-temannya bahwa bu Dinda mencari-cariya di tempat Mpok Lohan. Malah Pujangga pernah melihat sendiri bu Dinda menunggunya di depan gerbang kampus memperhatikan satu-persatu mahasiswa yang keluar mencarinya, untung saja Pujangga melihat dulu sebelum bu Dinda menemukannya. Tak ayal lagi Pujangga lari ke gerbang lain. Pujangga sudah merasa sangat jijik dengan perempuan itu. Walaupun dia tidak salah, namun dia takut bila bu Dinda yang terus mencarinya itu akhirnya akan menemukan rumah pakde. Dia takut bila perempuan itu akan menceritakan semuanya kepada pakde sebagai bentuk tanggung jawabnya. Pujangga tidak berkehandak demikian, dia berharap kejadian itu tertutup rapat dan pujangga tak ingin bertemu perempuan itu. Titik.
“Apa yang harus kulakukan?” hatinya gelisah.
Maka dalam ketakutannya inilah akhirnya Pujangga memutuskan pergi tanpa pamit dari semua orang yang dia kenal agar dia tidak susah untuk menjawab pertanyaan yang pasti akan datang bertubi-tubi, pindah kemana? kenapa pindah? dan lain-lain. Pakde, Bude, Fatma dan yang paling menyakitkan hatinya adalah ia tak akan memberi tahu Abah dan Ummi tentang kepergiannya itu.
Pujangga terus mengingat kejadian yang telah dialaminya dua tahun belakangan ini. Sambil menghisap kretek, ia duduk di depan jendela kamar kosnya yang sudah ia tempati dua tahun belakangan ini, secangkir kopi pahit panas menemaninya mengalahkan udara malam yang dingin. Awalnya dia berkali-kali pindah kos, dan akhirnya daerah kumuh di pinggiran bantaran sungai Ciliwung inilah ia merasa cocok. Dan mungkin sebagai akibat adaptasinya, kini keadaan tubuhnya nampak sesuai dengan sekitarnya, rambutnya dibiarkan awut-awutan gondrong, kumisnya makin tebal, tubuhnya makin kurus namun tetap kekar, siapapun tak akan percaya bila melihatnya bahwa dulu ia adalah pemuda kaya, bahwa dia sempat mengenyam pendidikan di pesantren. Tapi kini, kerjaan tetap pun ia tak punya. Bila ada proyek gedung yang sedang dibangun kadang dia menjadi kuli bangunan tersebut, dengan dari upah harian sebagai kuli itulah ia mendapatkan uang untuk kehidupan sehari-hari. Kemiskinan, tubuh sangar dan lingkungan tak terurus yang menempel pada dirinya menjadi modal untuk ditakuti orang. Walaupun ia tak pernah melukai seseorang tapi orang yang akan melihatnya akan memilih tidak berurusan dengan pemuda gondrong, brewok yang berwajah sangar ini.
Meskipun Pujangga membenci dirinya, dan bahkan membenci tuhannya. Namun masih ada kebaikan yang tersisa dalam hatinya, ia sangat senang sekali bila melihat orang yang berbuat baik terhadap sesama dan melaksanakan agamanya. Entah apa rencana tuhan, mungkin Dia masih melihat kebaikan hati Pujangga ini walaupun sekecil biji sawi.
Dua tahun tinggal di bantaran sungai Ciliwung, tetapi Pujangga tak mengenal baik dengan tetangga-tetangganya. Seorang tetangga dua kamar setelah kamar kosnya bernama Maimunah. Perempuan asli dari Solo ini membuat Pujangga ingin kenal lebih dekat dengannya. Setiap malam Pujangga melihatnya pulang dari kerja yang awalnya tidak ia ketahui, pikirnya ia seperti kebanyakan perempuan yang ada di daerah itu yang nyambi sebagai pelacur. Namun alangkah kagetnya suatu malam ketika ia melewati depan kamar Maimunah, sayup-sayup ia mendengar suara yang tidak ia sangka-sangka. Sudah lama ia tak menyebutkannya. Perempuan tetangganya itu mengucapkan takbir mengagungkan nama Allah mengawali sholat malam. Hati Pujangga bergetar ketika mendengar takbir itu.
Besoknya ia menunggu kedatangan perempuan itu pulang dari kerja. Ia sangat ingin berkenalan dengan tetangga yang tak pernah ia sapa itu sebelumnya.
“Kita tetangga, dan aku ingin berkenalan denganmu” pinta Pujangga konyol.
Dan dari perkenalan konyol yang terkesan ia paksakan itulah ia tahu bahwa Maimunah bekerja sebagai cleaning service di sebuah mall yang ada di seberang bantaran sungai Ciliwung itu. Malam harinya setelah bekerja, Maimunah tidak lantas pulang ke kamar kos, tapi pergi ke kolong jembatan tidak jauh dari sungai itu. Di sana sekitar lima belas anak menunggunya setiap malam. Maimunah adalah guru mengaji mereka. Maka makin kagumlah Pujangga terhadap Perempuan ini. Sejak ia tahu sedikit tentang kehidupan Maimunah, Pujangga seringkali menjemputnya di kolong jembatan sembari menunggu untuk pulang dan jalan bersama.
“Mengapa kamu memperhatikan anak-anak kolong jembatan itu?” Tanya Pujangga satu malam sembari berjalan pulang sehabis mengajar.
“Tidak ada kebahagian yang paling membuat kita merasa bahagia kecuali memberikan sesuatu kepada orang yang kita cintai. Aku mencintai anak-anak itu karena kehidupanku pernah lebih buruk daripada mereka. Dan kini setiap kali aku melihat mereka maka aku selalu melihat diriku di masa lalu. Aku ingin membenahinya walaupun apa yang kulakukan ini adalah sebuah langkah yang sangat kecil.”
Pujangga merasa takjub dengan jawaban panjang itu. Kehidupannya dulu jelas lebih baik darinya sekarang, namun ia tak pernah merasakan apa yang dirasakan perempuan yang baru dikenalnya itu. Lain halnya dengan Maimunah, setelah mengatakan itu, matanya nampak berkaca-kaca mengingat masa lalunya. Matanya memerah. Pujangga merasakan kesedihan perempuan di sampingnya itu. Rupanya ada yang melintas di Benak Maimunah ketika mengatakan tadi.
“Maukah kamu berbagi cerita denganku. Aku melihat ada yang membebani hidupmu.” Ucap Pujangga
“Asalkan kamu juga mau menceritakan tentang dirimu. Karena orang sepertiku tidak bisa tertipu dengan wajah brewok garangmu itu. Aku dapat melihat beban berat dari matamu.”
Pujangga tersenyum dengan ucapan Maimunah itu. Ternyata masih ada orang yang bisa memperhatikannya. Pujangga mengangguk.
Pujangga dan Mimunah menghentikan langkah ketika tiba di depan kos mereka. Namun keduanya memilih duduk di pembatas sungai Ciliwung sambil melihat sungai itu. Musim kemarau seperti ini membuat tumpukan sampah di sungai makin nampak bak bukit kecil di tengah sungai, tak ayal lagi bau menyengat menyebar kemana-mana. Tapi bagi orang seperti Pujangga dan Maimunah itu sudah biasa. Malah beberapa tetangga yang lebih lama tinggal di sana akan merasa pusing bila mencium harum wangi-wangian, mereka akan segar kembali bila mencium bau lingkungannya itu, bau sampah di sungai ciliwung. ‘Bau alam kita’ begitu mereka menyebutnya.
“Keluargaku adalah keluarga yang berantakan. Sangat tidak bahagia” ucap Maimunah mengawali ceritanya. Matanya kembali berkaca-kaca mengenang masa lalunya jauh di Solo.
“Ada apa dengan keluargamu?”
“Kemiskinan membuat kami gila. Aku adalah anak pertama dari tiga saudara dan satu-satunya perempuan. Ayahku bekerja sebagai sopir bis antar propinsi sedangkan ibu merawat kami bertiga di rumah. Sangat bahagia awalnya” sesaat Maimunah terdiam.
“Lalu?” Tanya Pujangga
“Namun kehidupan kami berubah ketika bis ayah mengalami kecelakaan. Berbulan-bulan Ayah dirawat di rumah sakit. Awalnya perusahaan bis tempat ayah bekerja menanggung biaya perawatan, namun bantuan perusahaan lama-lama makin seret dan berbelit-belit yang akhirnya tak berlanjut lagi ketika tahu bahwa sakit ayah semakin parah. Ternyata selama ini ayah mempunyai penyakit Diabetes Melitus parah yang ia tutup-tutupi dari keluarga. Kata dokter, luka-luka yang dialami dari kecelakaan itu tidak dapat kering karena Diabetes Melitus itu. Bila dibiarkan maka makin menyebar ke bagian tubuh lain. Semua harta sudah ludes dijual untuk membiayai pengobatan ayah, terakhir ibu juga menjual rumah yang baru setahun lunas di beli ayah lewat cicilan dan resmi menjadi rumah kami itu. Ibu menggantinya dengan mengontrak rumah kecil untuk kami. Namun sehari-hari, ibu jarang sekali pulang ke rumah kecil itu, ia lebih memilih mendampingi ayah di rumah sakit. Selama masih dirawat, ayah tidak mengetahui bahwa ibu menjual rumahnya. Akhirnya kaki kanan ayah harus diamputasi karena lukanya makin menyebar bila dibiarkan. Hati kami terasa pahit ketika melihatnya sadar sehabis operasi amputasi itu, ia mencoba menggerakkan kaki kanannya yang tertutup selimut namun ia tak merasakannya, Ibu menangis ketika melihat keadaan ayah saat itu. Karena tak kunjung sembuh dan bosan sudah berbulan-bulan hidup diatas kasur rumah sakit akhirnya ayah ngotot minta pulang ke rumah. Alangkah kaget ia ketika dibawa pulang ke sebuah rumah kecil yang ibu sewa, ia menangis melihat keluarganya menjadi seperti itu, namun ayah dapat memaklumi apa yang dilakukan ibu. Tapi tidak lama kemudian……”. Maimunah berhenti sejenak. Ia mencoba melawan ombak hatinya yang tiba-tiba bergelombang kuat.
“Apa yang terjadi berikutnya?” Tanya Pujangga.
“Tanpa perawatan dokter, sakit ayah semakin parah. Sangat memprihatinkan. Dan akhirnya ayah pergi untuk selama-lamanya. Aku masih ingat sekali keadaan ibu yang sering pingsan saat hari kematian ayah itu. Beban ibu sangat berat. Aku dan kedua adikku hanya bisa menangis, mereka berdua tentunya masih belum terlalu banyak tahu karena masih kecil.” Maimunah menghirup panjang memenuhi dadanya dengan udara.
“Aku kira” Maimunah melanjutkan ceritanya “Semuanya sudah berakhir, harapanku kami akan memulai kehidupan baru tanpa ayah. Tapi ternyata tuhan belum cukup melihat ujian yang Ia berikan kepada kami. Sejak kepergian ayah, ibu mengalami gangguan jiwa, terkadang ia normal seperti ibu yang aku kenal, dan terkadang ia berubah menjadi orang yang tak pernah kukenal. Terlalu berat memang bebannya. Ia seakan hidup dalam dunia yang berbeda, sering bicara sendiri, tiba-tiba berteriak, yaa seperti orang gangguan jiwa pada umumnya. Aku menjadi bahan ejekan teman-teman karena mempunyai ibu yang tidak selalu normal itu. Kami ketiga anaknya jelas makin tak terurus. Sekolahku berhenti hanya sampai kelas dua SMP. Melihat keadaan kami seperti itu, para tetangga sering memberi kami makan, uang jajan dll. Bila ibu dalam keadaan normal, ada sebagian tetangga yang memanggilnya untuk mencuci pakaian, piring, menyetrika dan lain-lain. Dari situ ibu dapat upah yang sering ia belikan jajanan pasar untuk anak-anaknya” Maimunah tersenyum mengenang ibunya yang walaupun mengalami gangguan jiwa tapi tetap menunjukkan kasih sayangnya itu.
“Tapi yang membuatku hampir juga gila adalah kedua adikku yang masih kecil itu” lanjut Maimunah “Entah apa yang dipikirkan ibu dalam ketidakwarasannya itu, suatu malam ketika kami tidur, aku terbangun karena mendengar suara gaduh dan badanku merasa panas. Ketika sudah cukup sadar aku berteriak melihat ibu tertawa menjerit-jerit sambil memeluk kedua adikku. Ia membakar diri bersama kedua adikku yang teriak menangis dalam pelukannya itu” Maimunah berhenti bercerita.
Sejenak ia memberi kesempatan air matanya yang mengalir semakin deras. Dadanya naik turun mencoba menenangkan.
“Tidak kuat melihat keadaan seperti itu aku berlari keluar rumah dan berteriak minta tolong. Semua tetangga mencoba membantu menolong ibu, tapi terlambat. Ibu dan kedua adikku meninggal hangus terbakar. Pagi harinya ratusan orang berkumpul di rumahku, wartawan juga sibuk meliput. Aku tidak tahan dan lalu pergi. Ketika melewati sebuah warung, aku sempat melihat tubuh ibu dan adikku di layar televisi yang sedang memberitakannya. Itulah terakhir kali aku melihat mereka. Aku terus melangkah dan berhenti di kuburan ayah, aku peluk gundukan tanah itu, aku tumpahkan kesedihanku kepadanya, lama sekali aku duduk bersama ayah hingga aku tertidur diatas kuburannya. Ketika bangun, kemudian aku pergi tanpa arah, kakiku terus melangkah. Tak punya tujuan. Aku menjadi anak jalanan. Aku mengikuti jejak anak-anak jalanan lain yang meminta-minta, mengamen. Di perempatan jalan, di atas bis, hingga kereta api semua menjadi tempat hidupku. Suatu saat ketika aku duduk melepas lelah sehabis mengamen di stasiun Balapan Solo aku merenungi nasibku ini. Kesedihanku terhadap apa yang terjadi pada keluargaku tidak mudah luntur begitu saja. Dalam tidur aku sering bermimpi mendengar jeritan tawa ibu dan adik-adikku di malam terakhirnya itu. Akhirnya kuputuskan pergi dari Solo agar aku tidak mengingat keluargaku terus-menerus. Sebuah kereta ekonomi jurusan Jakarta kunaiki, diatasnya aku mengamen. Aku tidak turun dari kereta itu hingga tiba di Jakarta. Itulah langkah pertamaku di Jakarta. Terkatung-katung aku di Jakarta menjadi pengamen bersama anak jalanan lain. Hingga suatu saat aku bertemu dengan almarhum pak Farid, seorang ustadz kampung berusia lanjut di dekat stasiun Senen. Hari-harinya ia habiskan menjaga musholla kecil disana. Malam hari sehabis mengamen kadang aku pergi mengaji di musholla yang ia jaga itu. Beliau benar-benar banyak mengisi hidupku. Walaupun saat itu aku masih kecil, tapi aku dapat melihat kegetiran hati pak Farid. Beliau benar-benar banyak memberiku inspirasi.”
Maimunah menoleh ke Pujangga yang mendengar kisahnya sambil memandang tumpukan sampah di tengah sungai itu. Pujangga kemudian menatap wajah Maimunah.
“Itulah aku. Hingga jadi seperti sekarang ini” ucap Maimunah mengakhiri kisahnya.
Pujangga menarik nafas panjang mendengarnya.
“Aku ikut merasakan. Sungguh berat beban hidupmu Maimunah” ucap Pujangga.
“Awalnya aku berpikir begitu. Beban hidup seperti itu terlalu berat untuk anak seumsiaku. Tapi berteman dengan anak jalanan lain aku tahu ternyata mereka juga tidak jauh mengalami nasib sepertiku. Ternyata aku tidak sendiri. Karena itulah aku berjanji untuk tidak terlalu larut dalam kesedihan”.
Pujangga terdiam. Hatinya berbisik mencoba membandingkan hidup Maimunah dengan apa yang telah ia alami. Dia makin kagum terhadap perempuan disampingnya itu. Pujangga malu terhadap dirinya sendiri yang begitu lemah dan cengeng, tidak seperti Maimunah yang dihempas bertalu-talu oleh gelombang kehidupan namun tetap tegar berdiri.
“Sekarang, ceritakan apa yang membebanimu?” Tanya Maimunah
“Aku diperkosa” jawab Pujangga singkat.
Maimunah tersenyum. Dikiranya jawaban itu hanya bercanda. Namun ia memperbaiki sikapnya itu ketika melihat wajah Pujangga nampak diam serius.
“Diperkosa?. Aneh”
Pujangga menganggukkan kepala. Ia pejamkan matanya. Bayangan bu Dinda di malam laknat itu mampir di benaknya. Disusul kemudian bayangan Abah dan Ummi terlintas. Ketika membuka mata ia mulai bercerita kepada Maimunah tentang hidupnya tanpa ada yang ditutup-tutupi. Ia ceritakan semua mulai saat kepergiannya ke Jakarta, harapan-harapannya, kuliahnya, Fatma, hingga bu Dinda perempuan yang baik hati namun menyimpan udang di balik batu. Perempuan yang pernah ia tolong namun malah memperkosanya itu. Dan terakhir tentang keputusannya untuk pergi dari semuanya hingga saat ini.
“Ternyata aku lebih lemah darimu Maimunah” ucapnya diakhir cerita “Hidupmu jauh lebih berat, kamu menghadapinya dengan kuat. Tapi aku, aku sangat cengeng menghadapinya. Aku lari dari kenyataan.”
“Tidak Pujangga. Bukankah tuhan memberi kita ujian sebatas kemampuan kita. Aku yakin tuhan lebih tahu takaran ujian yang diberikannya kepada seseorang. Bila aku jadi kamu mungkin aku juga melakukan hal yang sama seperti kamu.”
Sesaat keduanya terdiam. Melihat tumpukan sampah di tengah sungai yang dari tadi tidak mengalir itu. Seekor tikus besar diam-diam mencari makanan di atas tumpukan itu. Terlalu banyak memang sampah di sana.
“Berapa usiamu sekarang?” Tanya Pujangga tiba-tiba.
“dua puluh dua tahun”
“Aku lebih tua empat tahun darimu. Maukah kamu menjadi adikku dan kita akan saling menjaga?”
Maimunah tersenyum mendengar pertanyaan itu. Hatinya geli.
“Baiklah mas Pujangga” Keduanya tersenyum.
Hari-hari berikutnya Pujangga nampak lebih ceria. Keterpurukannya sedikit terobati oleh hadirnya adik barunya, Maimunah. Dari keakraban itu mereka berjanji untuk saling menjaga. Pujangga juga berjanji kepada Maimunah untuk sedikit demi sedikit berubah, tidak mabuk-mabukan lagi bila rasa sedih menyerangnya, tidak ke diskotik. Paling-paling hanya rokok kretek yang sangat susah untuk Pujangga tinggalkan. Walaupun rambutnya masih dibiarkan gondrong, namun kumis dan brewoknya yang berantakan dan awut-awutan itu sudah dicukur atas perintah Maimunah. Maimunah benar-benar tidak menyangka ada wajah yang tampan di balik brewok yang gak karuan itu.
“Rambutmu yang gondrong itu sungguh membuatmu nampak lebih tua” ucap Maimunah suatu hari.
Walaupun sudah banyak perubahan yang terjadi pada Pujangga. Tapi entah mengapa Maimunah tak pernah berhasil membujuk Pujangga memotong rambutnya itu.
“Aku hanya mau rambut ini terpotong di tanganmu Maimunah. Tapi nanti. Suatu saat kamu pasti akan memotongnya. Jangan sekarang. Kamu akan memotongnya ketika aku sudah bisa memaafkan diriku sendiri”. Ucap Pujangga merespon bujukan Maimunah yang sering ia keluhkan itu. Dan sejak Pujangga mengatakannya Maimunah pun tak pernah mencoba lagi membujuk untuk memotong rambut Pujangga.
Pujangga merasa bahagia karena ternyata masih ada orang yang memperhatikannya. Kini meskipun masih nampak sangar, ia sudah sedikit bersih dan terawat.
“setiap detik dari yang kita lewati adalah kesempatan emas kita untuk berubah.” Nasehat Maimunah suatu hari.
* * *
Tanpa Pujangga ketahui, jauh diseberang sana keluarganya bercemas-cemas penuh gelisah akan kabar Pujangga yang tidak jelas itu. Sudah berbagai cara Abah lakukan untuk mencari Pujangga, mulai sowan ke beberapa kiyai guru dari Abah untuk meminta doa khusus untuk menemukan anaknya, menulis surat pembaca di berbagai media massa, baik lokal maupun media massa luar kota. Pakde Ali juga sudah melapor ke kepolisian di Jakarta. Namun semuanya tak berhasil. Ummi sangat tertekan dengan keadaan ini, hari-harinya selalu menangisi Pujangga, malam- malamnya tak pernah nyenyak tidur karena melihat Pujangga yang berlari-lari dalam mimpinya. Chandradimuka adiknya yang sudah bisa mengerti keadaan orang tuanya yang semakin tua itu hanya bisa sedikit menghibur keduanya.
Kata orang, ketika seorang ibu menggendong bayinya maka ia akan menularkan detak jantung yang sama kepada bayinya. Ketika ibu itu cemas, bahagia atau sedih maka bayi itu juga akan merasakan hal yang sama pula, hal ini akan terbawa terus sampai ia dewasa. Begitu juga Pujangga, walaupun dia berusaha menahan kerinduannya kepada keluarganya namun itu semua akan ada ujungnya. Kini ia merasa bahwa Ummi pasti sangat mencemaskannya. Hingga suatu saat Pujangga memberanikan diri untuk menelepon rumahnya
“Halo. assalamualaikum” Suara Chandra adiknya terdengar menerima telpon. Pujangga ragu untuk membalasnya. Ia takut.
“Assalamualaikum” ulang Chandra dengan suara lebih tinggi. Telpon ditutupnya ketika beberapa detik tetap tak ada suara yang menjawab salamnya itu.
Pujangga pun meletakkan kembali gagang telpon ke tempatnya. Kepalanya menunduk. Hatinya berkecamuk gelisah. Ia kumpulkan semua keberanian dan mencoba kembali menelpon.
“Assalamualaikum” kali ini suara serak seorang perempuan tua yang menerima di seberang sana. Air mata Pujangga yang sudah lama tak menetes itu kini tiba-tiba mengalir, ia tahu bahwa yang didengarnya itu adalah suara Ummi. Ia tak kuasa menahan tangis. Sementara itu Ummi diam menunggu jawaban salamnya itu, namun yang ia dengar sayup-sayup dari seberang sana ialah suara sedu-sedan sebuah tangisan yang mencoba untuk ditahan. Jantung Ummi seakan berhenti berdetak,
“Pujangga? Ini Pujangga anakku? Kamu dimana nak?” Ummi ikut menangis. Abah dan Chandra reflek menghampiri ke belakang Ummi yang menyebut nama Pujangga itu. Namun tetap tak ada jawaban, yang terdengar hanya sedu-sedan tangis yang Ummi yakini suara Pujangga itu. Lama tidak ada jawaban dari Pujangga.
“Ummi…..” akhirnya Pujangga membalas. Mendengar suara lemah Pujangga itu dada Ummi naik turun, ombak besar makin bergelombang dalam dadanya.
“Anakku. Di mana kam….?” Belum selesai pertanyaan Ummi itu suara tuutt tuutt terdengar dari gagang teleponnya. Pujangga menutup telepon itu karena tak kuasa mendengar tangisan Ummi, Ia berlari, belari dan terus berlari. Ketika lelah berlari ia pun berhenti, duduk dan lalu menundukkan kepala. Dadanya masih naik turun mencoba menenangkan diri sendiri. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Pikirannya masih berperang mendengar suara serak Ummi tadi yang masih terngiang-ngiang dengan jelas di telinganya.
“Aku anak durhaka” jerit hatinya. Kedua tangannya semakin erat menutup wajahnya
Di rumah, tangis Ummi menjadi-jadi. Chandra mencoba menenangkannya. Abah duduk terdiam mencoba menahan emosi yang juga meledak-ledak.
Hari-hari setelah itu Ummi sering duduk di musholla kecil di dalam rumah. Entah doa seperti apalagi yang ia panjatkan kepada tuhan untuk anaknya itu. Walaupun begitu, doanya makin deras ia panjatkan, hanya itu yang bisa ia lakukan. Tiada hari yang Ummi lakukan kecuali memikirkan Pujangga.
“Anakku Pujangga, dimana kamu nak? Apa salah Ummi hingga kamu tinggalkan Ummi? Sedang apa kamu nak?” Ummi meletupkan keluhannya seraya mengelus dadanya.
“Pulang nak, pulang. Kasihani Ummi mu ini!” tangisnya semakin memilukan.
Tapi tetap saja, tangis itu, kesedihan itu, semua hanya ditelan oleh malam yang berisi doa-doa hampa Ummi untuk anaknya.
Dan hari-hari berikutnya, Pujangga dirundung rasa kesepian. Hidupnya terasa tak berguna. Kosong. Ia duduk di pembatas sungai Ciliwung memandang kehidupan di sekitarnya kini. Gubuk-gubuk reot, kutang yang dijemur, tumpukan sampah. Ah semuanya membosankan. Tidak jauh dari sana gedung-gedung tinggi menyombongkan diri, sangat paradoks dengan pemandangan di sekitarnya. Dan di salah satu deretan gedung itu ada sebuah mall tempat ‘adik’nya Maimunah bekerja. Diantara keraguan dan ingin menghibur diri, ia putuskan untuk jalan-jalan ke mall itu, sekalian melihat Maimunah bekerja.
“Apa salahnya jika aku ingin melihat adikku bekerja” ujarnya pada diri sendiri.
Dan masih dalam berpakaian seadanya, ia pun bangkit melangkah menyusuri jalan di pinggir sungai menuju mall itu. Pujangga memasukinya dan mulai mencari-cari adiknya, ia ingin tahu bagaimana Maimunah bekerja sebagai cleaning service. Sudah sekitar satu jam ia mondar-mandir di dalam mall itu tapi yang dicari tak kunjung ketemu. Akhirnya ia duduk di bangku tengah di lobby utama mall itu. Baru saja ia duduk tiba-tiba seorang laki-laki menghampirinya dengan senyum yang nampak merendahkan, Pujangga mencoba-coba mengingat siapa laki-laki yang menghampirinya itu. Sepertinya pernah bertemu. Namun semakin jauh Pujangga mencoba mengingatnya semakin lupa ia siapa laki-laki itu.
“Ha...ha...ha...” Tiba-tiba laki-laki itu menertawakan Pujangga “Rupanya sekarang kamu jadi seperti ini anak muda.”
Pujangga diam saja, namun kelihatan sekali ia sangat tersinggung dengan perlakuan laki-laki yang kini berdiri di depannya itu. Ia tetap mencoba mengingat laki-laki itu.
“Aku dengar kamu sudah tidak bisa teriak-teriak lagi seperti dulu. Sudah sadarkah kamu bahwa kamu dulu masih terlalu tolol untuk memahami hidup. Mana perempuan pelacur yang kamu tolong dulu itu? Nampaknya kamu sudah dibuang olehnya ya? Ha...ha...ha...”
Pujangga baru teringat bahwa laki-laki yang mengejek di depannya itu adalah bekas suami bu Dinda.
“Bukankah dulu sudah aku katakan bahwa perempuan tua itu adalah pelacur busuk. Kenapa kamu mau menolongnya dan malah membuatku malu di depan orang-orang.”
Pujangga tak mau berurusan dengan laki-laki itu. Ia bediri dan melangkah pergi. Tapi seakan belum puas, lelaki itu pun menahan langkah Pujangga dan terus berteriak-teriak menghina Pujangga. Tepat berhadapan wajah.
“Mau ke mana kamu? Dasar berondong simpanan pelacur” Laki-laki itu meneriaki Pujangga seakan dendamnya akan terbalaskan dengan meneriakinya seperti itu. Pengunjung mall melihat keributan itu.
“Praaakkk…” Pujangga memukul laki-laki itu yang berdarah-darah hanya dengan satu pukulan keras di kepalanya hingga terjatuh. Semua pengunjung mall yang ada disitu menonton adegan seru itu. Pujangga merasa malu, tapi rasa jengkelnya lebih besar kali ini. Laki-laki yang masih terjatuh di lantai itu memegang bagian kepala yang masih berdenyut-denyut. Giginya tanggal satu berdarah. Tapi entah kenapa ia masih bisa tertawa-tawa melihat Pujangga.
“Dasar pemuda berengsek. Mau bunuh aku? Pukul...pukul aku....ayo pukul...! Apa kamu malu karena aib mu sebagai simpanan pelacur aku buka di depan orang-orang ini.”
Semua orang yang ada disana membuka mulut keheranan melihat Pujangga yang dituduh sebagai simpanan pelacur itu. Bingung dengan rasa malu itu Pujangga menghampiri laki-laki itu dan menarik kerah baju memaksanya berdiri. Ia pukul laki-laki itu berkali-kali dengan tangan kekarnya. Dua satpam penjaga mall yang baru tiba berlari dan mencoba melerai keduanya. Namun tenaga Pujangga sangat kuat ingin memukul laki-laki itu hingga dua satpam itu sangat kesusahan menahannya.
“Mas Pujanggaaa...... Berhenti!” Pujangga terdiam mendengar suara teriakan itu. Ia menoleh ke sumber suara itu. Maimunah berdiri dua meter di belakangnya sambil menangis.
“Mas Pujangga. Ada apa ini mas? Kenapa kamu di sini? Kenapa kamu memukul orang hingga seperti ini?”
Pujangga tak menjawab. Ia melepas kerah baju laki-laki itu yang kemudian membuatnya terjatuh kembali ke lantai. Pujangga membalikkan badannya dan melangkah pergi tanpa melihat kembali ke arah Maimunah. Seakan paduan suara, suara pengunjung mall bergema kompak mengejek menyoraki Pujangga yang mereka ketahui dari kata laki-laki tadi sebagai berondong simpanan pelacur. Sangat malu Pujangga di tuduh seperti itu.
Malamnya Maimunah pulang lebih awal untuk mengetahui keadaan Pujangga setelah kejadian itu. Namun ketika melihat wajah Pujangga yang tampak tidak mengenakkan itu Maimunah mengurungkan niatnya untuk bertanya. Mungkin Pujangga masih sangat emosi untuk membahasnya. Namun bukan Pujangga yang sebenarnya berhati lembut itu bila tidak bisa membaca gelisah penuh tanda tanya pada diri Maimunah. Ia pun akhirnya mendekati Maimunah.
“Maafkan aku karena tadi sudah membuat keributan di tempatmu bekerja”
“Kenapa mas Pujangga memukulnya hingga seperti itu? Bukankah kamu sudah berjanji untuk berubah sedikit demi sedikit tidak urakan seperti dulu?”
“Aku tidak bermaksud begitu. Kamu dengar kan bagaimana dia seenaknya menghinaku?. Walaupun aku kotor tapi aku juga manusia yang punya batas kesabaran. Apakah kamu tega melihatku dihina seperti itu dan aku hanya diam?” mata Pujangga memerah. Nampaknya ulu hati Pujangga terasa pahit. Apa yang dihinakan laki-laki di Mall tadi memang sangat membuatnya tertekan.
Ingin sekali Maimunah memeluk Pujangga yang duduk di sampingnya ketika melihat ekspresi Pujangga yang menahan emosi seperti itu. Namun itu tak ia lakukan. Walaupun dia sudah seperti kakaknya sendiri tapi ia merasa tidak etis untuk melakukan hal seperti itu.
“Tidak mas….., kamu tidak kotor, kamu bersih, sangat bersih. Baiklah aku dapat mengerti apa yang mas lakukan tadi. Jangan biarkan seseorang menghinamu dengan sesuatu yang tidak benar. Tapi jangan jadi seperti orang tadi yang menghinamu membabi buta ingin menumpahkan dendamnya. Kamu tadi memukulnya juga sangat membabi buta. Kamu tidak ingin seperti dia kan?”.
Pujangga mengangguk.
Suatu hari ada proyek sebuah gedung yang sedang dibangun. Tak penting bagi Pujangga untuk tahu gedung apa yang akan dibangun itu, tapi yang penting baginya adalah bagaimana mendapatkan uang dari proyek itu minimal untuk biaya hidup sebulan ke depan. Maka ia menghampiri mandor proyek dan mendaftarkan dirinya sebagai kuli. Dan seperti kuli-kuli lain, malam-malamnya ia habiskan beristirahat dalam ruangan berdinding papan yang dibuat untuk para kuli istirahat tidak jauh di depan gedung itu. Di samping tempat para kuli itu juga ada bangunan yang lebih kecil sebagai kantor mandor proyek sekaligus untuk menghindar dari sengatan panas matahari bila sang mandor ingin beristirahat.
Seminggu ia sudah tidak pulang dan bertemu Maimunah karena pekerjaannya itu. Hingga suatu siang ketika ia mengangkat beban-beban berat membangun gedung itu, rombongan orang berjas datang melihat-lihat perkembangan gedung itu dipimpin oleh seorang wanita berkacamata hitam. Entah siapa orang-orang itu, hal itu tidak penting diketahui oleh para kuli. Namun nampak dari perilaku mandor proyek yang berubah menjadi sangat sopan itu bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat penting. Si mandor menunjuk-nunjuk beberapa bagian bangunan mencoba menerangkan kepada pimpinan rombongan itu. Hingga suatu sudut gedung yang sedang dikerjakan Pujangga ditunjuk oleh mandor tersebut. Perempuan itu kaget melihat Pujangga, rasanya tak percaya melihat Pujangga bekerja seperti itu. Ia lepas kacamata hitamnya untuk meyakinkan, sesaat sinar matahari terasa sangat menyilaukan. Alis matanya menurun mencoba untuk lebih memperhatikan apakah benar laki-laki yang dilihatnya itu adalah Pujangga. Si Mandor hanya heran ketika melihat bosnya itu tidak memperhatikan sudut lain gedung yang ia tunjukkan, justru hanya diam memperhatikan sesuatu.
“Ibu!” ucap mandor mencoba menyadarkan bosnya itu. Namun yang disapa tetap diam dan malah lebih memperhatikan yang dilihatnya tadi. Si mandor makin kebingungan dan mencoba melihat apa yang diperhatikan oleh perempuan itu.
“Maaf ibu, apa ada yang kurang memuaskan dari sudut bangunan yang ibu lihat itu” tanyanya.
“Siapa laki-laki itu?” tanya perempuan itu menunjuk Pujangga yang sedang bekerja berpeluh keringat. Sedang yang ditunjuk tak sadar diperhatikan dan masih sibuk dengan pekerjaannya.
“Dia kuli bangunan yang baru seminggu bekerja disini bu” jawabnya.
“Namanya Pujangga kan?”
Si mandor sesaat diam karena sebenarnya ia tak tahu nama satu per satu kuli yang jumlahnya sekitar seratus itu. Namun entah kenapa ia mengangguk membenarkan.
“Iya bu. Namanya Pujangga”.
Perempuan itu sesaat diam dan lalu mengangguk-anggukkan kepalanya pelan-pelan.
“Panggil ia ke kantormu dan jangan bilang aku ingin menemuinya!”
“Ada apa bu. Apa dia bermasalah dengan ibu?”
“Jangan banyak tanya. Lakukan saja apa yang aku suruh.”
Kemudian perempuan itu melangkah sendiri menuju kantor mandor. Sebaliknya si Mandor melangkah agak teburu-buru menuju Pujangga.
Beberapa saat kemudian nampak mandor berbicara dengan Pujangga. Si mandor lalu berjalan diikuti oleh Pujangga di belakangnya. Tiba di depan ruangan yang dituju keduanya berhenti.
“Kamu masuklah dulu. Nanti aku menyusulmu ke dalam”
“Baik pak” Pujangga lalu masuk tanpa rasa curiga.
Ketika ia membuka pintu nampak seorang perempuan duduk di kursi belakang meja si mandor, namun hanya kepala bagian belakangnya saja yang terlihat oleh Pujangga karena perempuan itu membelakanginya. Pujangga lalu menutup pintu itu.
“Pujangga?” Tanya perempuan itu.
“Ya, saya Pujangga”
“Kenapa sekarang kamu memilih kerja begini?” tanyanya langsung. Pujangga merasa aneh dengan pertanyaan itu. Namun belum sempat ia menjawab, perempuan itu bertanya lagi.
“Kenapa kamu meninggalkan pekerjaanmu yang dulu?”
Sesaat Pujangga terdiam. Bertanya-tanya dalam hati tahukah perempuan ini tentang pekerjaannya yang dulu.
“Dan yang paling penting” ucapnya, “Kenapa kamu lari dariku?” tanyanya lagi sembari memutar kursi yang ia duduki menghadap Pujangga yang sejak tadi ia belakangi.
Jantung Pujangga serasa berhenti ketika ia melihat bu Dinda kini duduk di depannya. Ia sangat kaget perempuan yang ia benci itu kini menatapnya dengan seenaknya. Mulutnya terbuka, tidak percaya dengan siapa yang ada di hadapannya ini.
“Ya Allah, perempuan ini yang merusak hidupku” ucap Pujangga dalam hati.
“Kenapa? Kenapa kamu diam saja?”.
Waktu terhenti sejenak.
“Kamu yang merusak hidupku!” ucap Pujangga dengan nada tinggi, matanya memerah lebih terbuka.
“What’s wrong with me? Justru kamu yang merusak hidupmu sendiri. Aku mengangkatmu menjadi orang yang sukses dan kini kamu menuduhku merusak hidupmu. Kamu yang lari dari kenyataan, bukan aku. Justru aku yang mencari-cari kamu. Ingat itu!.”
“Kamu yang memperkosaku!”
“Apakah kamu tidak tahu balas budi. Jangan sok suci. Semua laki-laki suka melakukannya.”
“Benar kata suamimu dulu. Kamu memang adalah pelacur!”
Pahit hati bu Dinda ketika mendengar kalimat itu.
“Terserah apa katamu Pujangga. Aku hanya pernah melakukannya dengan dirimu. Jika itu kamu sebut sebagai pelacur. Maka yang harus kamu sadari bahwa kamu pernah hidup sukses karena seorang pelacur” ucapnya tegas.
Pujangga tidak terima dengan ucapan itu. Ia tak kuat mendengarnya. Tapi ia tak mungkin juga melakukan seperti yang telah ia lakukan pada mantan suaminya di mall. Tangan Pujangga menggepal kuat menahan emosi. Ia menatap perempuan yang tak mungkin ia lupakan itu.
“Kenapa?. Kenapa diam saja?. Sampai sekarangpun kamu masih hidup dariku yang kamu tuduh sebagai pelacur ini. Gedung yang sedang kamu bangun ini ada di bawah perusahaanku. Dan kamu sekarang masih mencari nafkah di sini. Kamu mencari nafkah dari seorang pelacur. Begitu maksudmu dengan menuduhku sebagai pelacur kan?”
Darah pujangga semakin mendidih seakan terkumpul di kepalanya. Wajahnya yang putih kini nampak merah. Tubuhnya tegang menahan marah. Ia tak kuat lagi mendengar kata-kata selanjutnya dari perempuan berlidah ular di depannya itu.
“Cukup! Cukup!” teriak Pujangga. “Jangan teruskan ucapanmu.”
Mereka berdua terdiam saling memandang. Suara bising bersahut-sahutan terdengar dari luar ruangan itu. Suara mesin-mesin besar yang sedang mengangkut beban-beban berat, puluhan ketokan palu dari para kuli yang sedang bekerja semuanya bersahut-sahutan seakan mengisi kekosongan diantara Pujangga dan bu Dinda yang masih terdiam itu.
“Terserah” ucap Pujangga lirih “Terserah apa katamu bu Dinda. Tapi yang perlu kamu ingat dulu aku menolong hidupmu dari suamimu, dulu aku tidak pernah mengemis untuk bekerja padamu, tapi kamu. Dulu aku sangat menghormatimu tapi kamu yang kemudian malah melakukan…” pikiran Pujangga malayang mengingat kejadian di malam laknat itu. Ia tak sanggup mengatakannya lagi.
“Sekarang terserah bila kamu menuduhku tak bisa balas budi. Tapi aku mohon, aku mohon dengan sangat, jangan pernah temui aku lagi.”
Pujangga membalikkan tubuhnya dan bergegas melangkah keluar dari ruangan itu.
“Pujangga!” panggil bu Dinda mencoba menahan.
Pujangga tidak menghiraukannya dan terus melangkah. Bu Dinda hanya diam.
Itu hari terakhir Pujangga bekerja di proyek itu. Ia tak menyangka akan menjadi seperti itu akhirnya. Pujangga terus melangkah. Di saat seperti inilah seharusnya dia membutuhkan sosok Maimunah untuk menenangkannya. Pujangga bingung, marah, muak dengan semuanya. Kecewanya terhadap tuhan yang dulu mulai terobati dengan adanya Maimunah kini mulai kembali lagi, kenapa tuhan membiarkan bu Dinda menemukan Pujangga pada saat dia sedikit demi sedikit terobati. Dia sudah mencoba tuk kembali seperti Pujangga yang dahulu, yang tidak lari dari kenyataan.
“Apakah tuhan senang melihatku terpuruk?,” tanya hatinya. “Ah tuhan. Kenapa Kau membenciku”.
Pujangga terus melangkah. Ucapan-ucapan perempuan itu masih terngiang dengan jelas di kepalanya.
“Apakah kamu tidak tahu balas budi. Jangan sok suci. Semua laki-laki suka melakukannya.”
“Kamu mencari nafkah dari seorang pelacur”
Ketika tidak tahan lagi dengan suara-suara di kepalanya itu, ia pun berhenti dan duduk di sebuah halte kosong. Kedua tangan Pujangga memegang erat kepalanya mencoba untuk tidak mendengarkan kata-kata di kepalanya itu.
Lama ia duduk sendiri di halte itu, namun panjangnya waktu yang telah dilewati oleh titik-titik detik seakan tak berpengaruh, pada saat itu bagi Pujangga waktu seakan berhenti. Tatapan matanya kosong tak bermakna, merenungi nasibnya yang serba tak pasti. Orang-orang berlalu-lalang di depannya sama sekali tak mengusik lamunannya. Suara adzan maghrib menggema dari salah satu masjid besar yang tidak jauh dari sana, kemudian disusul dengan suara-suara dari masjid-masjid lain yang saling bersahutan menyeru untuk menghadap pada Allah. Suara-suara itu sangat jelas didengar oleh Pujangga, namun tak tersirat sedetik pun untuk melangkahkan kaki menuju suara adzan itu.
“Ah Allah, Kau memanggilku dengan suara-suara itu setelah Engkau membuangku” ucap hatinya. “Bukankah dulu Aku selalu patuh padaMu. Kini aku terlalu lelah setelah Engkau menyia-nyiakan aku“
Matahari di ufuk barat berlahan-lahan diselimuti oleh awan yang menggiring mengantarkannya di belahan bumi bagian lain dan menggantikannya dengan wajah bulan yang telah berdandan dengan gemerlap indahnya bintang. Langit malam itu sangat cerah. Namun kecerahan langit tak terimbangi dengan keadaan Jakarta yang sangat keruh, kemacetan terjadi hampir disetiap jalan beraspal. Asap kendaraan sangat terasa menjengkelkan hidung dan menyesakkan dada bagi yang tak terbiasa dengan Jakarta. Semrawut.
Tidak berbeda dengan Jakarta. Hati Pujangga makin pudar tak berwarna. Warna-warni yang telah dilukiskan di kanvas hatinya oleh Maimunah kini berlahan mulai luntur tak beraturan karena bertemunya ia dengan bu Dinda. Lari dari kenyataan pahitnya hidup yang perlahan ia tinggalkan kini seakan berbisik lebih parah.
Tangannya semakin tergenggam erat mencoba mengalahkan badai di dadanya sendiri. Hatinya yang sejak tadi berdialog sendiri, bertanya-tanya sendiri, dan selalu berujung dengan benci terhadap diri sendiri dan terkesan menyalahkan tuhan, kini nampak menghasilkan sesuatu yang abstrak pada hatinya sendiri. Walaupun waktu terasa berhenti baginya, akhirnya ia berdiri dari halte yang ia duduki. Dadanya terangkat ke depan seakan menantang, menantang hidup, menantang semuanya, bahkan menantang tuhan. Ia langkahkan kakinya menuju tempat yang dulu sering ia kunjungi, sebuah diskotik kecil di ujung kota Jakarta.
Seorang penjaga diskotik yang juga teman lamanya nampak sumringah melihat kedatangan Pujangga kembali. Penjaga itu nampak ingin sekedar berbasa-basi dengan kedatangannya, namun ketika ia melihat raut wajah Pujangga yang berbeda itu, ia pun mengurungkan niatnya dan langsung mempersilahkannya masuk. Tak berbeda dengan sikap penjaga itu, waitress berpakaian seksi di diskotik itu pun nampak memperlakukannya berbeda dengan tamu-tamu lain. Semua yang kenal dengannya tersenyum seakan berkata dalam hatinya ke mana saja kamu selama ini Pujangga. Begitu juga dengan seseorang yang duduk di depan tender, ia melirik Pujangga yang datang dan hanya duduk diampingnya, ternyata orang itu adalah manager diskotik, yang juga teman lamanya ketika dulu Pujangga dulu berada daam keterpurukan.
“Akhirnya datang juga kamu” ucapnya singkat yang kemudian dilanjutkan dengan menyeruput wiski di depannya.
Melihat yang diajak bicara hanya diam, ia pun tersenyum kecut. Tentunya dia sudah banyak tahu orang macam Pujangga ini, yang lama tidak datang dan ujung-ujungnya kembali juga setelah mendapat beban berat dalam hatinya kembali. Ia pun melirik pada bar tender di depannya, memberikan isyarat agar memberi segelas minuman kepada tamunya itu. Tak lama kemudian segelas wiski telah ada di depan Pujangga yang masih terdiam. Pujangga tak membiarkan terlalu lama wiski itu, sekali teguk dan habislah cairan yang sudah lama tak mengaliri tenggorokannya itu, waitress cantik berpakaian seksi yang tadi memberinya wiski itu pun reflek mengisi ulang gelas kosong itu dengan cairan yang sama, terus dan terus. Dan pada satu titik, ada warna-warni yang berubah bergantian dengan cepat dalam pandangan Pujangga, suara-suara triping musik berdentum dengan keras, ia mengira bahwa itu adalah degup jantungnya, ratusan orang berjoget, bergerak-gerak tak beraturan mengikuti dentuman musik, tertawa-tawa kegirangan, Pujangga melihat orang-orang itu seperti melihat slow motion menertawakannya, mengejeknya, menghinanya. Pujangga tak kuat lagi, ia sangat mabuk, marah dan akhirnya berdiri berteriak.
“Bangssaaaaaa….ttttt”
Beberapa orang yang joget sempat berhenti dan melihat asal teriakan itu, tapi hanya balasan tawa-tawa ejekan yang didapat Pujangga dari orang-orang itu. Tak ada yang menghiraukannya, sudah terlalu banyak orang macam Pujangga yang berteriak mabok dalam diskotik seperti itu.
“Dasar pemabok!” ucap seseorang dengan tertawa menghina, nampaknya ia juga dalam keadaan mabuk.
Pujangga melangkah keluar, jalannya sempoyongan, tak ada yang menuntunnya, malah beberapa orang mengutuknya ketika jatuh sempoyongan ke tubuh orang itu.
Kata orang, ketika seorang ibu menggendong bayinya maka ia akan menularkan detak jantung yang sama kepada bayinya. Ketika ibu itu cemas, bahagia atau sedih maka bayi itu juga akan merasakan hal yang sama pula, hal ini akan terbawa terus sampai ia dewasa. Begitu juga Pujangga, walaupun dia berusaha menahan kerinduannya kepada keluarganya namun itu semua akan ada ujungnya. Kini ia merasa bahwa Ummi pasti sangat mencemaskannya. Hingga suatu saat Pujangga memberanikan diri untuk menelepon rumahnya
“Halo. assalamualaikum” Suara Chandra adiknya terdengar menerima telpon. Pujangga ragu untuk membalasnya. Ia takut.
“Assalamualaikum” ulang Chandra dengan suara lebih tinggi. Telpon ditutupnya ketika beberapa detik tetap tak ada suara yang menjawab salamnya itu.
Pujangga pun meletakkan kembali gagang telpon ke tempatnya. Kepalanya menunduk. Hatinya berkecamuk gelisah. Ia kumpulkan semua keberanian dan mencoba kembali menelpon.
“Assalamualaikum” kali ini suara serak seorang perempuan tua yang menerima di seberang sana. Air mata Pujangga yang sudah lama tak menetes itu kini tiba-tiba mengalir, ia tahu bahwa yang didengarnya itu adalah suara Ummi. Ia tak kuasa menahan tangis. Sementara itu Ummi diam menunggu jawaban salamnya itu, namun yang ia dengar sayup-sayup dari seberang sana ialah suara sedu-sedan sebuah tangisan yang mencoba untuk ditahan. Jantung Ummi seakan berhenti berdetak,
“Pujangga? Ini Pujangga anakku? Kamu dimana nak?” Ummi ikut menangis. Abah dan Chandra reflek menghampiri ke belakang Ummi yang menyebut nama Pujangga itu. Namun tetap tak ada jawaban, yang terdengar hanya sedu-sedan tangis yang Ummi yakini suara Pujangga itu. Lama tidak ada jawaban dari Pujangga.
“Ummi…..” akhirnya Pujangga membalas. Mendengar suara lemah Pujangga itu dada Ummi naik turun, ombak besar makin bergelombang dalam dadanya.
“Anakku. Di mana kam….?” Belum selesai pertanyaan Ummi itu suara tuutt tuutt terdengar dari gagang teleponnya. Pujangga menutup telepon itu karena tak kuasa mendengar tangisan Ummi, Ia berlari, belari dan terus berlari. Ketika lelah berlari ia pun berhenti, duduk dan lalu menundukkan kepala. Dadanya masih naik turun mencoba menenangkan diri sendiri. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Pikirannya masih berperang mendengar suara serak Ummi tadi yang masih terngiang-ngiang dengan jelas di telinganya.
“Aku anak durhaka” jerit hatinya. Kedua tangannya semakin erat menutup wajahnya
Di rumah, tangis Ummi menjadi-jadi. Chandra mencoba menenangkannya. Abah duduk terdiam mencoba menahan emosi yang juga meledak-ledak.
Hari-hari setelah itu Ummi sering duduk di musholla kecil di dalam rumah. Entah doa seperti apalagi yang ia panjatkan kepada tuhan untuk anaknya itu. Walaupun begitu, doanya makin deras ia panjatkan, hanya itu yang bisa ia lakukan. Tiada hari yang Ummi lakukan kecuali memikirkan Pujangga.
“Anakku Pujangga, dimana kamu nak? Apa salah Ummi hingga kamu tinggalkan Ummi? Sedang apa kamu nak?” Ummi meletupkan keluhannya seraya mengelus dadanya.
“Pulang nak, pulang. Kasihani Ummi mu ini!” tangisnya semakin memilukan.
Tapi tetap saja, tangis itu, kesedihan itu, semua hanya ditelan oleh malam yang berisi doa-doa hampa Ummi untuk anaknya.
Dan hari-hari berikutnya, Pujangga dirundung rasa kesepian. Hidupnya terasa tak berguna. Kosong. Ia duduk di pembatas sungai Ciliwung memandang kehidupan di sekitarnya kini. Gubuk-gubuk reot, kutang yang dijemur, tumpukan sampah. Ah semuanya membosankan. Tidak jauh dari sana gedung-gedung tinggi menyombongkan diri, sangat paradoks dengan pemandangan di sekitarnya. Dan di salah satu deretan gedung itu ada sebuah mall tempat ‘adik’nya Maimunah bekerja. Diantara keraguan dan ingin menghibur diri, ia putuskan untuk jalan-jalan ke mall itu, sekalian melihat Maimunah bekerja.
“Apa salahnya jika aku ingin melihat adikku bekerja” ujarnya pada diri sendiri.
Dan masih dalam berpakaian seadanya, ia pun bangkit melangkah menyusuri jalan di pinggir sungai menuju mall itu. Pujangga memasukinya dan mulai mencari-cari adiknya, ia ingin tahu bagaimana Maimunah bekerja sebagai cleaning service. Sudah sekitar satu jam ia mondar-mandir di dalam mall itu tapi yang dicari tak kunjung ketemu. Akhirnya ia duduk di bangku tengah di lobby utama mall itu. Baru saja ia duduk tiba-tiba seorang laki-laki menghampirinya dengan senyum yang nampak merendahkan, Pujangga mencoba-coba mengingat siapa laki-laki yang menghampirinya itu. Sepertinya pernah bertemu. Namun semakin jauh Pujangga mencoba mengingatnya semakin lupa ia siapa laki-laki itu.
“Ha...ha...ha...” Tiba-tiba laki-laki itu menertawakan Pujangga “Rupanya sekarang kamu jadi seperti ini anak muda.”
Pujangga diam saja, namun kelihatan sekali ia sangat tersinggung dengan perlakuan laki-laki yang kini berdiri di depannya itu. Ia tetap mencoba mengingat laki-laki itu.
“Aku dengar kamu sudah tidak bisa teriak-teriak lagi seperti dulu. Sudah sadarkah kamu bahwa kamu dulu masih terlalu tolol untuk memahami hidup. Mana perempuan pelacur yang kamu tolong dulu itu? Nampaknya kamu sudah dibuang olehnya ya? Ha...ha...ha...”
Pujangga baru teringat bahwa laki-laki yang mengejek di depannya itu adalah bekas suami bu Dinda.
“Bukankah dulu sudah aku katakan bahwa perempuan tua itu adalah pelacur busuk. Kenapa kamu mau menolongnya dan malah membuatku malu di depan orang-orang.”
Pujangga tak mau berurusan dengan laki-laki itu. Ia bediri dan melangkah pergi. Tapi seakan belum puas, lelaki itu pun menahan langkah Pujangga dan terus berteriak-teriak menghina Pujangga. Tepat berhadapan wajah.
“Mau ke mana kamu? Dasar berondong simpanan pelacur” Laki-laki itu meneriaki Pujangga seakan dendamnya akan terbalaskan dengan meneriakinya seperti itu. Pengunjung mall melihat keributan itu.
“Praaakkk…” Pujangga memukul laki-laki itu yang berdarah-darah hanya dengan satu pukulan keras di kepalanya hingga terjatuh. Semua pengunjung mall yang ada disitu menonton adegan seru itu. Pujangga merasa malu, tapi rasa jengkelnya lebih besar kali ini. Laki-laki yang masih terjatuh di lantai itu memegang bagian kepala yang masih berdenyut-denyut. Giginya tanggal satu berdarah. Tapi entah kenapa ia masih bisa tertawa-tawa melihat Pujangga.
“Dasar pemuda berengsek. Mau bunuh aku? Pukul...pukul aku....ayo pukul...! Apa kamu malu karena aib mu sebagai simpanan pelacur aku buka di depan orang-orang ini.”
Semua orang yang ada disana membuka mulut keheranan melihat Pujangga yang dituduh sebagai simpanan pelacur itu. Bingung dengan rasa malu itu Pujangga menghampiri laki-laki itu dan menarik kerah baju memaksanya berdiri. Ia pukul laki-laki itu berkali-kali dengan tangan kekarnya. Dua satpam penjaga mall yang baru tiba berlari dan mencoba melerai keduanya. Namun tenaga Pujangga sangat kuat ingin memukul laki-laki itu hingga dua satpam itu sangat kesusahan menahannya.
“Mas Pujanggaaa...... Berhenti!” Pujangga terdiam mendengar suara teriakan itu. Ia menoleh ke sumber suara itu. Maimunah berdiri dua meter di belakangnya sambil menangis.
“Mas Pujangga. Ada apa ini mas? Kenapa kamu di sini? Kenapa kamu memukul orang hingga seperti ini?”
Pujangga tak menjawab. Ia melepas kerah baju laki-laki itu yang kemudian membuatnya terjatuh kembali ke lantai. Pujangga membalikkan badannya dan melangkah pergi tanpa melihat kembali ke arah Maimunah. Seakan paduan suara, suara pengunjung mall bergema kompak mengejek menyoraki Pujangga yang mereka ketahui dari kata laki-laki tadi sebagai berondong simpanan pelacur. Sangat malu Pujangga di tuduh seperti itu.
Malamnya Maimunah pulang lebih awal untuk mengetahui keadaan Pujangga setelah kejadian itu. Namun ketika melihat wajah Pujangga yang tampak tidak mengenakkan itu Maimunah mengurungkan niatnya untuk bertanya. Mungkin Pujangga masih sangat emosi untuk membahasnya. Namun bukan Pujangga yang sebenarnya berhati lembut itu bila tidak bisa membaca gelisah penuh tanda tanya pada diri Maimunah. Ia pun akhirnya mendekati Maimunah.
“Maafkan aku karena tadi sudah membuat keributan di tempatmu bekerja”
“Kenapa mas Pujangga memukulnya hingga seperti itu? Bukankah kamu sudah berjanji untuk berubah sedikit demi sedikit tidak urakan seperti dulu?”
“Aku tidak bermaksud begitu. Kamu dengar kan bagaimana dia seenaknya menghinaku?. Walaupun aku kotor tapi aku juga manusia yang punya batas kesabaran. Apakah kamu tega melihatku dihina seperti itu dan aku hanya diam?” mata Pujangga memerah. Nampaknya ulu hati Pujangga terasa pahit. Apa yang dihinakan laki-laki di Mall tadi memang sangat membuatnya tertekan.
Ingin sekali Maimunah memeluk Pujangga yang duduk di sampingnya ketika melihat ekspresi Pujangga yang menahan emosi seperti itu. Namun itu tak ia lakukan. Walaupun dia sudah seperti kakaknya sendiri tapi ia merasa tidak etis untuk melakukan hal seperti itu.
“Tidak mas….., kamu tidak kotor, kamu bersih, sangat bersih. Baiklah aku dapat mengerti apa yang mas lakukan tadi. Jangan biarkan seseorang menghinamu dengan sesuatu yang tidak benar. Tapi jangan jadi seperti orang tadi yang menghinamu membabi buta ingin menumpahkan dendamnya. Kamu tadi memukulnya juga sangat membabi buta. Kamu tidak ingin seperti dia kan?”.
Pujangga mengangguk.
* * *
Dan kata orang bahwa dunia ini tidak selebar daun kelor. Ini tidak berlaku bagi Pujangga. Hal ini ia sadari ketika ia justru bertemu dengan orang-orang yang selama ini ia coba untuk lari dari mereka.
Suatu hari ada proyek sebuah gedung yang sedang dibangun. Tak penting bagi Pujangga untuk tahu gedung apa yang akan dibangun itu, tapi yang penting baginya adalah bagaimana mendapatkan uang dari proyek itu minimal untuk biaya hidup sebulan ke depan. Maka ia menghampiri mandor proyek dan mendaftarkan dirinya sebagai kuli. Dan seperti kuli-kuli lain, malam-malamnya ia habiskan beristirahat dalam ruangan berdinding papan yang dibuat untuk para kuli istirahat tidak jauh di depan gedung itu. Di samping tempat para kuli itu juga ada bangunan yang lebih kecil sebagai kantor mandor proyek sekaligus untuk menghindar dari sengatan panas matahari bila sang mandor ingin beristirahat.
Seminggu ia sudah tidak pulang dan bertemu Maimunah karena pekerjaannya itu. Hingga suatu siang ketika ia mengangkat beban-beban berat membangun gedung itu, rombongan orang berjas datang melihat-lihat perkembangan gedung itu dipimpin oleh seorang wanita berkacamata hitam. Entah siapa orang-orang itu, hal itu tidak penting diketahui oleh para kuli. Namun nampak dari perilaku mandor proyek yang berubah menjadi sangat sopan itu bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat penting. Si mandor menunjuk-nunjuk beberapa bagian bangunan mencoba menerangkan kepada pimpinan rombongan itu. Hingga suatu sudut gedung yang sedang dikerjakan Pujangga ditunjuk oleh mandor tersebut. Perempuan itu kaget melihat Pujangga, rasanya tak percaya melihat Pujangga bekerja seperti itu. Ia lepas kacamata hitamnya untuk meyakinkan, sesaat sinar matahari terasa sangat menyilaukan. Alis matanya menurun mencoba untuk lebih memperhatikan apakah benar laki-laki yang dilihatnya itu adalah Pujangga. Si Mandor hanya heran ketika melihat bosnya itu tidak memperhatikan sudut lain gedung yang ia tunjukkan, justru hanya diam memperhatikan sesuatu.
“Ibu!” ucap mandor mencoba menyadarkan bosnya itu. Namun yang disapa tetap diam dan malah lebih memperhatikan yang dilihatnya tadi. Si mandor makin kebingungan dan mencoba melihat apa yang diperhatikan oleh perempuan itu.
“Maaf ibu, apa ada yang kurang memuaskan dari sudut bangunan yang ibu lihat itu” tanyanya.
“Siapa laki-laki itu?” tanya perempuan itu menunjuk Pujangga yang sedang bekerja berpeluh keringat. Sedang yang ditunjuk tak sadar diperhatikan dan masih sibuk dengan pekerjaannya.
“Dia kuli bangunan yang baru seminggu bekerja disini bu” jawabnya.
“Namanya Pujangga kan?”
Si mandor sesaat diam karena sebenarnya ia tak tahu nama satu per satu kuli yang jumlahnya sekitar seratus itu. Namun entah kenapa ia mengangguk membenarkan.
“Iya bu. Namanya Pujangga”.
Perempuan itu sesaat diam dan lalu mengangguk-anggukkan kepalanya pelan-pelan.
“Panggil ia ke kantormu dan jangan bilang aku ingin menemuinya!”
“Ada apa bu. Apa dia bermasalah dengan ibu?”
“Jangan banyak tanya. Lakukan saja apa yang aku suruh.”
Kemudian perempuan itu melangkah sendiri menuju kantor mandor. Sebaliknya si Mandor melangkah agak teburu-buru menuju Pujangga.
Beberapa saat kemudian nampak mandor berbicara dengan Pujangga. Si mandor lalu berjalan diikuti oleh Pujangga di belakangnya. Tiba di depan ruangan yang dituju keduanya berhenti.
“Kamu masuklah dulu. Nanti aku menyusulmu ke dalam”
“Baik pak” Pujangga lalu masuk tanpa rasa curiga.
Ketika ia membuka pintu nampak seorang perempuan duduk di kursi belakang meja si mandor, namun hanya kepala bagian belakangnya saja yang terlihat oleh Pujangga karena perempuan itu membelakanginya. Pujangga lalu menutup pintu itu.
“Pujangga?” Tanya perempuan itu.
“Ya, saya Pujangga”
“Kenapa sekarang kamu memilih kerja begini?” tanyanya langsung. Pujangga merasa aneh dengan pertanyaan itu. Namun belum sempat ia menjawab, perempuan itu bertanya lagi.
“Kenapa kamu meninggalkan pekerjaanmu yang dulu?”
Sesaat Pujangga terdiam. Bertanya-tanya dalam hati tahukah perempuan ini tentang pekerjaannya yang dulu.
“Dan yang paling penting” ucapnya, “Kenapa kamu lari dariku?” tanyanya lagi sembari memutar kursi yang ia duduki menghadap Pujangga yang sejak tadi ia belakangi.
Jantung Pujangga serasa berhenti ketika ia melihat bu Dinda kini duduk di depannya. Ia sangat kaget perempuan yang ia benci itu kini menatapnya dengan seenaknya. Mulutnya terbuka, tidak percaya dengan siapa yang ada di hadapannya ini.
“Ya Allah, perempuan ini yang merusak hidupku” ucap Pujangga dalam hati.
“Kenapa? Kenapa kamu diam saja?”.
Waktu terhenti sejenak.
“Kamu yang merusak hidupku!” ucap Pujangga dengan nada tinggi, matanya memerah lebih terbuka.
“What’s wrong with me? Justru kamu yang merusak hidupmu sendiri. Aku mengangkatmu menjadi orang yang sukses dan kini kamu menuduhku merusak hidupmu. Kamu yang lari dari kenyataan, bukan aku. Justru aku yang mencari-cari kamu. Ingat itu!.”
“Kamu yang memperkosaku!”
“Apakah kamu tidak tahu balas budi. Jangan sok suci. Semua laki-laki suka melakukannya.”
“Benar kata suamimu dulu. Kamu memang adalah pelacur!”
Pahit hati bu Dinda ketika mendengar kalimat itu.
“Terserah apa katamu Pujangga. Aku hanya pernah melakukannya dengan dirimu. Jika itu kamu sebut sebagai pelacur. Maka yang harus kamu sadari bahwa kamu pernah hidup sukses karena seorang pelacur” ucapnya tegas.
Pujangga tidak terima dengan ucapan itu. Ia tak kuat mendengarnya. Tapi ia tak mungkin juga melakukan seperti yang telah ia lakukan pada mantan suaminya di mall. Tangan Pujangga menggepal kuat menahan emosi. Ia menatap perempuan yang tak mungkin ia lupakan itu.
“Kenapa?. Kenapa diam saja?. Sampai sekarangpun kamu masih hidup dariku yang kamu tuduh sebagai pelacur ini. Gedung yang sedang kamu bangun ini ada di bawah perusahaanku. Dan kamu sekarang masih mencari nafkah di sini. Kamu mencari nafkah dari seorang pelacur. Begitu maksudmu dengan menuduhku sebagai pelacur kan?”
Darah pujangga semakin mendidih seakan terkumpul di kepalanya. Wajahnya yang putih kini nampak merah. Tubuhnya tegang menahan marah. Ia tak kuat lagi mendengar kata-kata selanjutnya dari perempuan berlidah ular di depannya itu.
“Cukup! Cukup!” teriak Pujangga. “Jangan teruskan ucapanmu.”
Mereka berdua terdiam saling memandang. Suara bising bersahut-sahutan terdengar dari luar ruangan itu. Suara mesin-mesin besar yang sedang mengangkut beban-beban berat, puluhan ketokan palu dari para kuli yang sedang bekerja semuanya bersahut-sahutan seakan mengisi kekosongan diantara Pujangga dan bu Dinda yang masih terdiam itu.
“Terserah” ucap Pujangga lirih “Terserah apa katamu bu Dinda. Tapi yang perlu kamu ingat dulu aku menolong hidupmu dari suamimu, dulu aku tidak pernah mengemis untuk bekerja padamu, tapi kamu. Dulu aku sangat menghormatimu tapi kamu yang kemudian malah melakukan…” pikiran Pujangga malayang mengingat kejadian di malam laknat itu. Ia tak sanggup mengatakannya lagi.
“Sekarang terserah bila kamu menuduhku tak bisa balas budi. Tapi aku mohon, aku mohon dengan sangat, jangan pernah temui aku lagi.”
Pujangga membalikkan tubuhnya dan bergegas melangkah keluar dari ruangan itu.
“Pujangga!” panggil bu Dinda mencoba menahan.
Pujangga tidak menghiraukannya dan terus melangkah. Bu Dinda hanya diam.
Itu hari terakhir Pujangga bekerja di proyek itu. Ia tak menyangka akan menjadi seperti itu akhirnya. Pujangga terus melangkah. Di saat seperti inilah seharusnya dia membutuhkan sosok Maimunah untuk menenangkannya. Pujangga bingung, marah, muak dengan semuanya. Kecewanya terhadap tuhan yang dulu mulai terobati dengan adanya Maimunah kini mulai kembali lagi, kenapa tuhan membiarkan bu Dinda menemukan Pujangga pada saat dia sedikit demi sedikit terobati. Dia sudah mencoba tuk kembali seperti Pujangga yang dahulu, yang tidak lari dari kenyataan.
“Apakah tuhan senang melihatku terpuruk?,” tanya hatinya. “Ah tuhan. Kenapa Kau membenciku”.
Pujangga terus melangkah. Ucapan-ucapan perempuan itu masih terngiang dengan jelas di kepalanya.
“Apakah kamu tidak tahu balas budi. Jangan sok suci. Semua laki-laki suka melakukannya.”
“Kamu mencari nafkah dari seorang pelacur”
Ketika tidak tahan lagi dengan suara-suara di kepalanya itu, ia pun berhenti dan duduk di sebuah halte kosong. Kedua tangan Pujangga memegang erat kepalanya mencoba untuk tidak mendengarkan kata-kata di kepalanya itu.
Lama ia duduk sendiri di halte itu, namun panjangnya waktu yang telah dilewati oleh titik-titik detik seakan tak berpengaruh, pada saat itu bagi Pujangga waktu seakan berhenti. Tatapan matanya kosong tak bermakna, merenungi nasibnya yang serba tak pasti. Orang-orang berlalu-lalang di depannya sama sekali tak mengusik lamunannya. Suara adzan maghrib menggema dari salah satu masjid besar yang tidak jauh dari sana, kemudian disusul dengan suara-suara dari masjid-masjid lain yang saling bersahutan menyeru untuk menghadap pada Allah. Suara-suara itu sangat jelas didengar oleh Pujangga, namun tak tersirat sedetik pun untuk melangkahkan kaki menuju suara adzan itu.
“Ah Allah, Kau memanggilku dengan suara-suara itu setelah Engkau membuangku” ucap hatinya. “Bukankah dulu Aku selalu patuh padaMu. Kini aku terlalu lelah setelah Engkau menyia-nyiakan aku“
Matahari di ufuk barat berlahan-lahan diselimuti oleh awan yang menggiring mengantarkannya di belahan bumi bagian lain dan menggantikannya dengan wajah bulan yang telah berdandan dengan gemerlap indahnya bintang. Langit malam itu sangat cerah. Namun kecerahan langit tak terimbangi dengan keadaan Jakarta yang sangat keruh, kemacetan terjadi hampir disetiap jalan beraspal. Asap kendaraan sangat terasa menjengkelkan hidung dan menyesakkan dada bagi yang tak terbiasa dengan Jakarta. Semrawut.
Tidak berbeda dengan Jakarta. Hati Pujangga makin pudar tak berwarna. Warna-warni yang telah dilukiskan di kanvas hatinya oleh Maimunah kini berlahan mulai luntur tak beraturan karena bertemunya ia dengan bu Dinda. Lari dari kenyataan pahitnya hidup yang perlahan ia tinggalkan kini seakan berbisik lebih parah.
Tangannya semakin tergenggam erat mencoba mengalahkan badai di dadanya sendiri. Hatinya yang sejak tadi berdialog sendiri, bertanya-tanya sendiri, dan selalu berujung dengan benci terhadap diri sendiri dan terkesan menyalahkan tuhan, kini nampak menghasilkan sesuatu yang abstrak pada hatinya sendiri. Walaupun waktu terasa berhenti baginya, akhirnya ia berdiri dari halte yang ia duduki. Dadanya terangkat ke depan seakan menantang, menantang hidup, menantang semuanya, bahkan menantang tuhan. Ia langkahkan kakinya menuju tempat yang dulu sering ia kunjungi, sebuah diskotik kecil di ujung kota Jakarta.
Seorang penjaga diskotik yang juga teman lamanya nampak sumringah melihat kedatangan Pujangga kembali. Penjaga itu nampak ingin sekedar berbasa-basi dengan kedatangannya, namun ketika ia melihat raut wajah Pujangga yang berbeda itu, ia pun mengurungkan niatnya dan langsung mempersilahkannya masuk. Tak berbeda dengan sikap penjaga itu, waitress berpakaian seksi di diskotik itu pun nampak memperlakukannya berbeda dengan tamu-tamu lain. Semua yang kenal dengannya tersenyum seakan berkata dalam hatinya ke mana saja kamu selama ini Pujangga. Begitu juga dengan seseorang yang duduk di depan tender, ia melirik Pujangga yang datang dan hanya duduk diampingnya, ternyata orang itu adalah manager diskotik, yang juga teman lamanya ketika dulu Pujangga dulu berada daam keterpurukan.
“Akhirnya datang juga kamu” ucapnya singkat yang kemudian dilanjutkan dengan menyeruput wiski di depannya.
Melihat yang diajak bicara hanya diam, ia pun tersenyum kecut. Tentunya dia sudah banyak tahu orang macam Pujangga ini, yang lama tidak datang dan ujung-ujungnya kembali juga setelah mendapat beban berat dalam hatinya kembali. Ia pun melirik pada bar tender di depannya, memberikan isyarat agar memberi segelas minuman kepada tamunya itu. Tak lama kemudian segelas wiski telah ada di depan Pujangga yang masih terdiam. Pujangga tak membiarkan terlalu lama wiski itu, sekali teguk dan habislah cairan yang sudah lama tak mengaliri tenggorokannya itu, waitress cantik berpakaian seksi yang tadi memberinya wiski itu pun reflek mengisi ulang gelas kosong itu dengan cairan yang sama, terus dan terus. Dan pada satu titik, ada warna-warni yang berubah bergantian dengan cepat dalam pandangan Pujangga, suara-suara triping musik berdentum dengan keras, ia mengira bahwa itu adalah degup jantungnya, ratusan orang berjoget, bergerak-gerak tak beraturan mengikuti dentuman musik, tertawa-tawa kegirangan, Pujangga melihat orang-orang itu seperti melihat slow motion menertawakannya, mengejeknya, menghinanya. Pujangga tak kuat lagi, ia sangat mabuk, marah dan akhirnya berdiri berteriak.
“Bangssaaaaaa….ttttt”
Beberapa orang yang joget sempat berhenti dan melihat asal teriakan itu, tapi hanya balasan tawa-tawa ejekan yang didapat Pujangga dari orang-orang itu. Tak ada yang menghiraukannya, sudah terlalu banyak orang macam Pujangga yang berteriak mabok dalam diskotik seperti itu.
“Dasar pemabok!” ucap seseorang dengan tertawa menghina, nampaknya ia juga dalam keadaan mabuk.
Pujangga melangkah keluar, jalannya sempoyongan, tak ada yang menuntunnya, malah beberapa orang mengutuknya ketika jatuh sempoyongan ke tubuh orang itu.
0 blogger-facebook:
Post a Comment